doc : untitled - 12

1.3K 142 56
                                    




Setelah sampai di vila, kami mendapat tatapan meledek dari semua mata terlebih saat Bobby melihat sekilas bercak biru di leherku. Ia langsung mendekatiku dan menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian leherku, senyum jahilnya terulas sangat cepat dan matanya menyipit sempurna.

"WAH, WAH, DI DALEM APA DI LUAR NIH?" Tanya Lucas yang melihat kami dari jendela ruang tengah.

"Roman-romannya si mateng!" Sahut Bobby masih dengan cengirannya beralih mengambil bola plastik yang entah sejak kapan ada di sini. Aku nggak pernah melihatnya. "Gimana suaranya, Tet? Kaya nyanyian surga, nggak?"

"BOBBY, BACOT!" Sergah Yeri.

"Emang ngapasi kaga boleh? Shombong amat."

Kami segera masuk ke dalam tanpa memedulikan ledekan Bobby yang terdengar seperti bualan besar. Baik aku maupun Taehyung berjanji pada diri sendiri untuk menyimpan status kami dari merekaㅡuntuk berjaga-jaga kendati memang nggak ada lagi hal yang harus dikhawatirkan, tapi dalam hal apapun mencegah itu lebih baik daripada mengobati.

"Nanti selesai aku masak aku panggil, ya? Kalian belum sarapan." Suara Oje terdengar dari dapur saat aku dan Taehyung hendak pergi ke kamar masing-masing. Lalu Taehyung menjawab 'ya.'

Sabtu siang ini seluruh anak berleha-leha. Di bungalo, di halaman, atau di kamar masing-masing. Setelah aku selesai mandi aku berdiam diri di kamar Taehyung, seperti akan menjadi kebiasaanku yang baru. Tentu saja dengannya.

Setelah malam yang terasa panjang itu, kadar dopamin meningkat drastis dan tak masuk akal, aku merasa semakin jatuh cinta. Aku nggak tahu apa dia merasakan hal yang sama, tapi dari caranya merengkuhku seperti cara yang kumau di luar pengakuankuㅡaku bisa merasakan ia juga terbawa arus yang kini telah bermuara.

Baru kali ini hanya dengan tiduran di kasur menjadi satu kemalasan paling nyaman dan hal pertama yang ingin kulakukan sepanjang waktu. Taehyung membungkusku dengan tangan dan kakinya, mengunciku seolah-olah aku akan kabur membawa sesuatu yang telah kuambil darinya. Sesuatu yang tak seharusnya aku miliki di awal, tapi aku bersikeras mendapatkannya.

"Sepuluh tahun mendatang, apa yang kamu liat di hidupmu?" Aku melarikan jari-jariku di pipinya. Masih pucat, dan lumayan dingin dari sebelumnya.

Satu-satunya waktu yang menemukanku dengan skala normal kulitnya adalah tadi malam. Meski dalam kegelapan dan kedinginan aku melihat semburat pipinya yang merona dan panas, bibirnya sewarna mawar berdebu. Aku nggak tahu hal yang lebih indah lagi.

Taehyung mengeratkan pelukannya, memejamkan mata menikmati sentuhan jari-jariku. Satu ciuman mendarat di keningku, membelai lembut ruang kesadaranku. "Setelah cita-cita utamaku tercapai, aku mau jadi abah-abah yang berwibawa. Yang ngebantuin jemur anak, bawa anak jalan-jalan keliling komplek pake strolley sekalian olahraga sebelum berangkat kerja, yang tiap tanggal tua pasti cemas mikirin tagihan listrik tapi masih nurutin kemauan istri yang minta dibeliin sesuatu."

"Sekarang kamu juga berwibawa kok.." Pujiku sepenuh hati. Lantas ia tersenyum sipu. "Kalo duapuluh tahun ke depan?"

"Masih abah-abah, tapi hamil tujuh bulan cuma pake sarung sama kutang doang. Ajak ngobrol burung tiap pagi, jadi juragan stroberi."

Aku tergelak di celah lehernya dan jari-jariku berpindah ke dadanya. Begitukah? Taehyung buncit berkumis yang akan lebih mementingkan burung-burung peliharaannya ketimbang istri dan anaknya? Setidaknya itu yang bisa aku gambarkan mengingat adegan itu banyak sekali di film klasik Betawi yang dulu sering kutonton bersama mamah.

"Apa kamu kebagian warisan ladang stroberi itu?" Tanyaku. "Kalo iya kamu gunain untuk apa?"

"Buat donasi kayanya. Karna kalo dibuka buat khalayak ramai bakal hilang citra kelurga yang udah tersimpan lama. Niatnya mau bangun pabrik yang berbahan dasar stroberi, nanti separuh uang hasil produksi dikirim ke panti khusus."

UNTITLED {♡}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang