Prolog

14K 91 0
                                    

9 Mei 2017.



Malam semakin larut, gelap pun semakin menyelimut. Mobilnya melaju kencang, entah akan membawa ke mana. Adis tak tahu apa yang terjadi sehingga wajah lelaki yang mengemudi mobil penuh pitam yang sungguh kelam. Adis belum pernah melihat wajah Rama yang semarah ini.

Ingin sekali bertanya lantaran rasa penasaran yang tak bisa meredam. Akan tetapi, Adis tak punya kuasa. Hubungannya bersama Rama hanya sebatas rekan kerja yang malah jarang sekali bersitatap. Hanya saja, Rama kerap kali mengunjungi di luar jam kerja; diam-diam, tanpa ada yang mengetahui.

Demi wajah kelam Rama serta setelan jas yang sudah tak tertata, Adis harus membasahi kerongkongan dengan menelan liur, manakala lelaki itu menghentikan mobil di sebuah penginapan remang-remang. Tak perlu susah payah dengan memaksa diri untuk menjadi jenius, yang begini saja sudah bisa membuat Adis dengan cepat membaca akan apa yang akan terjadi setelah ini.

"Ayo?" Suara Rama mengejutkannya.

"Kita akan menginap di sini?" Adis bertanya ragu-ragu.

Rama tersenyum kernyih, menakutkan sekali. "Kamu nolak?"

"Bukan Kak, maksud Adis—"

"Aku lelah. Ayo bicara di dalam, Dis." Tatapannya tajam menusuk iris mata. Adis tahu dia menolak pembangkangan. Adis pula tak mau jika nanti ia membenci. Adis tak mau ambil risiko jikaia pergi menjauh, Adis tak mau sakit hati.

Sekejap saja Adis membuka sabuk pengaman. Dia lantas mengikuti Rama yang sudah lebih dahulu memasuki penginapan remang-remang.

Adis masih tak banyak bicara ketika Rama memesan sebuah kamar untuk mereka. Dia bahkan menundukkan kepala kala resepsionis penginapan remang-remang melirik untuk memastikan bagaimana rupa menyewa kamar mereka.

"Silahkan." Dengan senyum tipis, sang resepsionis mulai melangkah untuk menunjukkan di mana kamar yang akan mereka tempati.

Adis pun menurut saja saat Rama menggengam tangannya dan menarik lembut untuk melangkah mengekori resepsionis penginapan.

Cukup panjang langkah mereka melewati lorong yang remang, cahaya lampu kekuningan. Jika boleh Adis terheran, mungkin saja penginapan ini kekurangan uang sehingga tak mampu membeli penerangan yang lebih terang.

Mereka terhenti setelah berbelok dan menaiki anak tangga rendah di ujung lorong. Kamar yang akan Adis dan Rama sewa malam ini, berada paling dekat dengan anak tangga.

"Silahkan masuk." Resepsionis membukakan pintu kamar; menjelaskan sedikit tentang ketentuan penginapan dan lantas berucap selamat malam serta selamat beristirahat.

Adis baru saja meletakkan tas tangannya di atas meja cermin tatkala Rama datang memeluk dari belakang punggung. Hangat napas segera menerpa leher Adis lantaran Rama merebahkan dagu di pundaknya.

"Apa sudah mengunci pintu?" Adis bertanya lemah lembut. Lelaki di belakang punggung mengangguk selaras tangan semakin erat melingkari perut. Adis memejamkan mata, meresapi hangat tubuh Rama yang sudah menyatu di tubuhnya.

"Kakak kenapa sih?" Akhirnya Adis memberanikan diri untuk bertanya. Rama belum pernah yang seperti ini. Rama yang ia tahu adalah Rama yang selalu sumringah menghadapi apa pun masalah, Rama yang Adis tahu adalah lelaki intelek yang bijaksana; bukan Rama yang uring-uringan semacam ini.

"Maafkan aku, Dis."

"Kenapa minta maaf kalau Kakak enggak salah sama sekali?" Adis akhirnya berbalik untuk berhadapan dengannya. Jika begini terus, Adis benar-benar khawatir. Naluri bahkan berkata ada hal buruk yang terjadi di antara mereka. Sialnya, Adis tidak bisa mengetahui apa hal itu.

Rama kemudian mengangkat tubuh Adis untuk naik dan duduk di atas meja cermin. Dia datang mendekat, kedua tangan menceruk tengkuk Adis sehingga rasa hangat kembali menyapa, mengilik-ngilik ubun-ubun.

"Kak?" Suara Adis yang rendah berhasil menghentikan gerak wajah Rama yang datang mendekat; dan tersendat di jarak tersempit.

Hanya per sekon, lantaran selanjutnya bibir Rama menyapa bibir Adis; kenyal bersentuhan. Tak sampai di sana, Rama menuntun bibir Adis agar terbuka semakin lebar sehingga ia dapat mencapai yang ia inginkan; Rama menggulung lidah, menyesap dan melumat buah bibir yang ranum.

Padahal Adis masih menunggu maksud kata maaf tadi; tetapi jikalau sudah begini, betapa Adis tak kuasa menolak. Dia meremas bahu Rama, memejam mata sembari membalas setiap gerak bibir dan lidah yang mendominasi di dalam mulut.

Adis tersentak ketika tangan-tangan Rama berhenti menceruk tengkuk. Mereka beralih turun, salah satunya meremas buah dada dan tangan yang lain mulai menyelinap ke balik celana. Mau tak mau netra Adis mendelik dan dengan segera melepas ciuman.

"Kak?" Adis menahan tangan Rama yang masih penuh di buah dada.

"Kenapa, Dis? Bukannya kita sudah pernah begini?"

Tak perlu mengelak, mereka sudah melakukan yang begini hingga dua kali. Adis tak bisa serta-merta menyebut itu sebagai kesalahan, lantaran Adis yang meminta Rama menyentuh dalam tak terkendali. Namun, Adis tak mau terlarut dalam hal kotor semacam ini. Setidaknya, Rama harus memberi kejelasan akan bagaimana ia dapat menyebut jenis hubungan yang semacam ini. Adis benar-benar tak ingin sakit hati.

"Tetapi, Kak—"

"Aku lelah, Dis. Kalau kamu enggak mau, sebaiknya kita pulang saja!"

Wajah yang kembali dingin sekelebat membuat Adis khawatir, apalagi tangan-tangannya yang mulai menjauhi bagian tubuh Adis, memudar seluruh rasa hangat di tubuh.

Adis menarik jas belakangnya, menahan ia yang bermaksud pergi menjauh. Memang Adis yang menggila di sini, Adis yang sudah jatuh terpuruk oleh kepribadiannya. Adis yang sudah bodoh lantaran tak sanggup jika ia pergi meninggalkan.

"Ayo, Kak. Sentuh Adis."

***

LIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang