Chapter 6

2.9K 49 1
                                    

28 Mei 2017. 1: 01 am.



Gadisnya kelelahan. Rama merebahkan tubuhnya di ranjang tempat tidur. Ia pun ikut merebahkan diri setelah mengatur suhu pendingin ruangan dan kemudian merapikan selimut menutupi tubuh mereka yang masih polos tak berpakaian. Gadisnya lantas berbalik dan datang memeluk Rama.

"Adis hatinya sakit, jadi uring-uringan. Terus, si Fika ngajak jalan dan pacarnya bawa teman laki-laki biar Adis enggak kesepian." Rama merapatkan pelukannya kala Adis mulai bercerita cuma-cuma. Dia pula menarik kembali selimut menutupi hingga di bahu Adis.

"Orangnya enak diajak ngobrol, jadi Adis pikir enggak apa-apa kalau kita berteman." Adis memberi jeda sembari menatap Rama di atas kepala, memeriksa apakah lelaki itu sedang mendengarkannya. Rama, menghinggapi kecupan kecil di bibir tipis gadisnya.

Adis tersenyum dan kembali menyusup di dada. "Dia ajak karaoke di Hotel Merbabu, kita enggak sewa kamar hotel kok. Kakak enggak usah khawatir karena kita cuma nyanyi di tempat karaokenya."

Adis mencebik sebelum melanjutkan ucapannya. "Adis kira dia cuma cium, tapi lama-kelamaan tangannya gerayangan, jadi Adis tampar dan dorong sampai dia terjungkal. Habisnya, Adis lari dan telepon Kakak."

"Lagian kamu kenapa mau dicium sama cowok yang baru kenal berapa hari!" Rama berkomentar, sedikit tak nyaman didengar telinga pengakuan gadisnya ini.

"Kan udah Adis bilang Adis hatinya sakit, siapa tahu aja Adis bisa lupa sama Kak Rama." Adis berdecak sebal di dada Rama.

Keduanya hening kemudian. Rama tak menjawab, karena memang ini seratus persen kesalahannya. Dia juga tidak bisa serta-merta menghalangi jika Adis ingin melupakannya. Adis pula benar, dia sudah membuat hati gadis itu menjadi sakit.

Adis mendongak lagi, menatap Rama yang bergeming setelah selesai ceritanya. "Kakak benar mau nikah sama mbaknya?" Sebenarnya Adis takut menanyakan, ia pun menelan ludah setelah pertanyaan itu keluar. Namun, Adis sungguh penasaran, terlalu banyak pertanyaan di kepala yang ingin ia lontarkan untuk Rama.

"Eum. Aku sudah janji, Dis." Rama tahu seketika tampang Adis menjadi menyedihkan, dia kembali mencebik kesal dan menundukkan kepala. Rama menghela napas.

Dia tak ingin bercerita, namun jika sudah begini, dia harus. Rama ingin Adis mengerti keputusannya. "Barangkali aku terlihat hebat di kampus karena karya ilmiahku yang terus-terusan di-acc Pak Dekan dan aku terus-terusan menjadi narasumber seminar nasional bahkan internasional ... tapi, itu semua enggak akan terjadi kalau enggak ada campur tangan keluarga Dani, Dis."

Gadisnya kembali mendongak, Rama tersenyum kecut. "Ayah Dani orang politik, bisa diterima jadi pegawai tetap di universitas bagus tempat kita kerja sekarang aja itu bantuan ayahnya Dani. Kak Rama-mu ini enggak ada apa-apanya kalau aja Dani enggak minta ayahnya membantu. Kakakmu ini hanya lelaki miskin dari kampung yang untungnya seorang Chandani begitu menggila sampai sanggup melakukan apa aja untukku."

Rama tahu Adis jelas terperanjat, lantaran gadisnya ini tak pernah tahu cerita yang satu ini. Jika diingat kembali, selama ini mereka memang tak pernah membicarakan masalah serius semacam ini. Adis tak pernah tahu seluk-beluknya, hanya dirinya saja yang kerap kali bertanya tentang bagaimana keluarga Adis di jauh sana.

"Itulah Dis, aku enggak bisa melanggar janji sekarang."

Adis tak menjawab, dia hanya menelan ludah yang terasa pahit sekali di kerongkongan. Ia melepaskan pelukan Rama dan berbalik membelakangi. Semua percuma, setelah malam mereka yang gila pun semua percuma saja.

Mata Adis kemudian menangkap kemeja dan jaket yang jatuh di lantaikamar Rama. "Ah! Itu baju Kak Rama yang Adis pakai pertama kali ketemu."

Sebelum menjawab, Rama memeluk dari belakang punggung. Tangannya dengan rapat melingkari perut Adis. "Eum. Tiba-tiba teringat kamu, jadi aku keluarin dari lemari."

LIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang