Bab 1

2.4K 238 11
                                    


"Wali atas nama Bapak Alberto."

"Saya--" Gadis bertubuh mungil itu terlihat bingung. "Saya yang menolong Bapak tadi." Ujarnya kemudian.

"Nama Adek siapa ya?"

"Umur saya sudah 23 Sus bukan adek-adek lagi."

"Oh iya maaf Mbak--"

"Prilly nama saya Prilly." Ucap gadis mungil itu masih dengan wajah tak senangnya.

"Baiklah Mbak Prilly. Sekarang tolong selesaikan administrasi dulu." Prilly menganggukkan kepalanya sebelum berjalan menuju perawat di bagian administrasi untuk membayar biaya pengobatan Bapak-bapak yang di tolong olehnya tadi.

"Semuanya lima ratus tujuh puluh lima ribu Mbak."

Prilly langsung mengeluarkan dompetnya dan membayar biaya administrasi Bapak Alberto, untung saja Prilly selalu mengantongi dompetnya jika tidak dia pasti bakal pusing tujuh keliling sekarang.

"Terima kasih Mbak." Prilly tersenyum sambil meraih slip pembayaran yang disodorkan oleh perawat yang bertugas. "Sama-sama Sus."

Prilly berlalu dari sana setelah menyimpan slip pembayaran di dompetnya dan kembali menghampiri UGD dimana Pak Alberto masih berada.

"Mbak Bapak nya udah sadar." Seorang Suster menghampiri Prilly. "Oh baik, terima kasih Suster." Prilly beranjak dan memasuki UGD berniat untuk menemui Pak Alberto.

Prilly ingin bertanya dimana rumah dan siapa sanak saudara Pak Alberto yang bisa dia hubungi. Prilly benar-benar terkejut ketika mendekati salah satu meja di restoran tempat dia bekerja.

Prilly ingin membereskan meja di sana tepat ketika melihat seorang Bapak-bapak jatuh tak sadarkan diri dan refleks Prilly membantunya dan di sinilah dia sekarang.

Prilly memasuki UGD dan matanya langsung bertubrukan dengan mata pria paruh baya yang sedang tersenyum menatap lembut dan sayu kearahnya.

Prilly langsung kikuk berjalan pelan menuju ranjang dimana Pak Alberto masih terbaring. "Siapa nama kamu Nak?"

Prilly mendongak menatap Pak Alberto. "Nama saya Prilly Pak."

Alberto tersenyum lembut menatap gadis mungil yang terlihat begitu menggemaskan. "Nama yang cantik secantik orangnya."

Sontak wajah Prilly bersemu, dia benar-benar pemalu apalagi jika dipuji secara terang-terangan seperti ini. Namun sialnya yang memuji dirinya saat ini adalah pria paruh baya.

Benar-benar menyebalkan.

Tanpa sadar Prilly mengerucutkan bibirnya dan senyum Alberto semakin mengembang melihat kelakuan gadis mungil di depannya.

Sepertinya dia semakin yakin dengan keinginannya untuk menjodohkan putra badungnya dengan gadis mungil ini.

"Nak bisakah Bapak minta tolong?" Alberto sengaja membuat mimik wajah semenyedihkan mungkin.

Prilly yang memang pada dasarnya memiliki rasa iba yang berlebih sontak mendekati Alberto. "Bapak kenapa? Bapak nggak di vonis penyakit mematikan bukan?"

Alberto nyaris tersedak ludahnya sendiri ketika dengan polosnya Prilly bertanya seperti itu tapi sepertinya itu bisa dia manfaatkan untuk menarik simpati Prilly.

Maafkan saya Nak saya terpaksa melakukan hal ini.

Alberto tidak mengangguk atau menggeleng namun tatapan sendunya berhasil membuat Prilly percaya jika pria didepannya ini pasti divonis penyakit berbahaya.

"Ya ampun kasihan sekali Bapak harus mati begitu cepat." Alberto kembali tersedak kali ini pria itu sampai terbatuk-batuk karena celetukan Prilly.

Prilly yang tidak merasa bersalah justru berteriak memanggil Dokter karena mengira Alberto terbatuk akibat penyakit yang dideritanya kambuh.

Entahlah, Alberto tidak tahu harus bersyukur atau bersedih dengan kepolosan gadis ini.

***

"Kali ini taruhan lo apa?"

Ali yang sedang menyesap minuman beralkohol miliknya menoleh menatap Brama sahabat karibnya dengan pandangan datarnya.

Brama, Rico dan Jordan tak lagi heran atau tersinggung dengan tatapan bengis sahabatnya itu. Ali sudah terbiasa dengan tatapan itu jadi tidak heran jika banyak yang mengira jika Ali adalah pria kejam padahal Ali memiliki sisi hangat yang hanya orang-orang terdekatnya yang tahu.

"Kayaknya Villa di tepi pantai lo seru." Rico memang sudah sejak lama mengincar Villa itu namun Ali jelas tidak akan memberikan Villa itu dengan mudah.

"Villa itu kenang-kenangan dari almarhumah Nyokap gue." Ketus Ali sambil meneguk minumannya lagi.

Brama dan yang lain sontak mengangguk mengerti jika Ali tidak mungkin melempar Villa itu ke meja taruhan mereka.

"Ah ya gue lihat Tante Dira masih berkeliaran di rumah lo."

Ali mengedikkan bahunya dengan tidak acuh. "Bodo amat selama dia nggak ganggu gue ya udah biarin aja." Sahut Ali dengan cuek. Mungkin dulu dia masih bersikap layaknya anak kecil yang membenci Ayahnya menikahi wanita lain setelah Ibunya mati.

Namun kini Ali sudah dewasa dia memiliki cara lain untuk menghilangkan kepenatannya salah satunya berjudi. Sebenarnya Ali melakukan itu semata-mata hanya untuk menganggu kenyamanan masa tua Ayahnya.

Ali masih ingat bagaimana Ayahnya dengan santai berlenggang bersama wanita yang kala itu diperkenalkan sebagai Ibu barunya padahal Ibu kandung Ali belum satu tahun meninggal.

Ali benci dengan tatapan melecehkan yang Ayah dan Istri mudanya layangkan hingga akhirnya Ali bangkit dan sekarang menjadi pimpinan salah satu perusahaan cabang milik Ayahnya meskipun di sana Ali sering memanggil teman-teman wanitanya untuk membunuh kebosanannya.

Ali brengsek? Memang tapi dia tidak perduli selama dia merasa bahagia kenapa nggak.

Ali menggoyangkan sedikit tubuhnya mengikuti alunan musik yang berdentum menggema memenuhi ruangan mereka. Bar ini adalah salah satu investasi Jordan yang memang sangat menyukai dunia malam.

Tapi tempat dia bebas dari narkoba atau semacamnya. Mereka berjudi hanya dengan orang-orang kenalan mereka yang tentu saja dari kalangan atas. Ali tidak mungkin bergaul dengan mereka dari kalangan bawah.

"Malam ini lo punya stock baru nggak buat nemenin kita?" Rico bertanya pada Jordan yang dibalas kerlingan nakal oleh pria blasteran itu.

"Ada dong! Gue jamin lo semua pada puas." Jordan tertawa diikuti yang lain kecuali Ali yang memilih memejamkan matanya.

Ali terlihat merebahkan kepalanya pada sandaran sofa. Sebenarnya dia tidak begitu tertarik pada dunia seperti ini hanya saja dia tidak tahu melampiaskan kesepian dan kekecewaannya pada sang Ayah ke tempat lain hingga akhirnya Ali memilih berkubang dalam kemaksiatan seperti ini.

Sudahlah! Biarkan saja dia menikmati hidupnya toh masih muda ini.

"Helen gimana?"

Ali sedikit menggerakkan kepalanya menoleh menatap Brama yang sedang menatap nakal kearahnya. "Gue nggak nafsu sama cewek berisik!"

Setelahnya tawa Rico, Brama dan Jordan lah yang memenuhi ruangan itu pria-pria bejat itu terlihat membicarakan dan membandingkan wanita-wanita yang menemani malam-malam mereka.

Ali memilih diam menikmati kesunyian hatinya. Ah, hidupnya memang sudah begitu miris sejak dulu.

*****

Halo jumpa lagi di cerita baru aku. Di cerita ini aku sengaja buat karakter Ali kayak badboy gitu sebelum akhirnya tobat hahaha..

Untuk yang masih belum punya pdf-pdf aku silahkan chat yaa 081321817808 harganya beda-beda ambil lebih dari 2 pasti ada potongan harganya.

Terima kasih..

Cinta Dan PengorbananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang