Chapter 8

628 52 4
                                    

Sore itu aku duduk di kursi taman belakang rumahku, menatap kosong kearah kolam. Pikiranku masih di sibukan dengan urusan tadi siang, ali ternyata dia menyimpan perasaan lebih dari seorang sahabat padaku. Tapi aku tidak bisa membalasnya karena hatiku telah lebih dulu memilih delfi.

" kamu harus tegas memilih perasaan yang harusnya di tinggalkan atau di perjuangkan karena pada akhirnya yang kita cari itu bukan tentang kesempurnaan melainkan tentang kenyamanan "

Perempuan itu berbicara kepadaku, seolah dia tau apa yang sedang aku pikirkan, apakah dia tau kalau persahabatanku sedang renggang karena cinta.

" berhenti bicara tentang cinta sama gue, tau apa lo soal cinta ? Bahkan gue bingung.. sebutan apa yang pantas buat orang yang udah tega ngerebut suami sahabatnya sendiri, buat orang yang tega misahin ayah dari anak anak nya, pernah gak selama bertahun tahun lo mikir gimana caranya gue sama kaka bisa survive ? Setelah sumber kebahagiaannya lo rampas semua "

Aku meneriaki perempuan itu dengan begitu hebat, tak ada pembelaan yang keluar dari bibirnya, hanya tetesan air yang jatuh dari kedua mata hazelnya.

***

Sudah satu minggu aku belajar bahasa arab dan sekarang aku sudah bisa walaupun tidak terlalu lancar

" Prill, kenapa kamu tiba- tiba pengen belajar bahasa arab ? "

Aku menghela nafas dan mulai bercerita.

" perempuan itu keturunan arab, dia tinggal di arab dan menikah dengan ayahku. Dengan susah payah dia belajar bahasa Indonesia agar bisa berkomunikasi denganku, menyapaku tiap pagi meskipun aku slalu diam ketika dia berbicara denganku, dia slalu mencurahkan perhatiannya untukku. Aku membencinya bukan karena dia keturunan arab dan beragama muslim tapi aku membencinya karena dia telah menggeser posisi mamah, kenapa harus dia yang ayah pilih ? dia sahabat terbaik mamah, butuh waktu untuk bisa berdamai dengannya, sebenarnya dia tak pernah salah, kalaupun ada yang harus di salahkan atas semua yang terjadi, tentu ayah lah yang memang pantas untuk di salahkan, perempuan itu Cuma penjalan takdir, kini aku ingin menebus semua perlakuan burukku padanya. kini giliran aku yang ingin menyapanya dan kata pertama yang ingin aku ucapkan adalah umi (ibu) "

aku berusaha sekuat tenaga agar tidak terisak

" walaupun dia bukan ibu kandungmu, tapi aku yakin kasih sayangnya tulus prill " delfi menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah kembali membasahi pipiku.

Pandanganku tertuju ke seseorang yang berdiri tak jauh dari aku dan delfi, biasanya tangan orang itu yang dengan sigap menghapus air mataku, biasanya tangan orang itu yang slalu menenangkanku. Ada yang beda darinya, tatapannya begitu sendu.

Maaf ali....

p

Sahabat hidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang