7

254 34 2
                                    

Jakarta, 23 Februari 2020
Club malam | 01:19 WIB

"Gun balik yu, gue udah ngantuk nih," ucap Jane. Terhitung sudah delapan kali Jane menguap menahan kantuknya sejak ia turun dari panggung. Saat ini, Jane sedang menemani Gun menyaksikan penampilan DJ yang masih setia bermain di atas panggung. "Lo kenapa suka banget nongkrong dulu si sebelum balik? Emang ga cape?"

Gun menggeleng, ia menenggak gelasnya yang entah berisi apa dalam satu kali tegukan. Minuman itu dipesan Jane sejak dua puluh menit yang lalu, dan Gun tahu betul bahwa apapun yang Jane pesan tidak pernah mengandung alkohol. Jadi Gun bisa mengonsumsinya tanpa takut akan mabuk setelah ini.

"Gue suka di sini, rame."

"Kostan lu sepi emangnya?" Jane mengambil potongan kentang goreng yang ada di meja. Setelah itu, ia menenggak minumannya sambil menunggu jawaban dari Gun.

"Engga kok," ucap Gun. "Lo pulang duluan aja Jane, gue gapapa di sini sendiri."

Jane kembali menguap lalu memandang Gun dengan ragu. "Beneran nih? Lo sendirian dong?"

"Gapapa, udah biasa juga kok. Pulang gih, besok lo ngampus kan?" Jane mengangguk singkat sebagai balasan dari ucapan Gun.

"Jemputan lo udah di depan?" tanya Gun.

"Udah dari sepuluh menit yang lalu kayanya." Jane mengecek jam yang melingkar di tangannya. "Yaudah gue balik ya, lo jangan pulang malem-malem. Bye Gun."

Gun mengangguk singkat lalu melambaikan tangannya seiring dengan berlalunya Jane dari meja mereka.

Kini, Gun sendiri lagi di tengah ramainya club yang dipenuhi oleh teriakan pengunjung seraya menikmati musik dari atas panggung. Gun suka keramaian, seperti menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian di dunia ini. Meski pada kenyataannya, Gun tetap merasa sepi, seramai apapun tempat ia berpijak.

Gun semakin larut dalam pikirannya. Setiap kali Gun seorang diri, selalu banyak hal yang masuk ke dalam kepalanya. Peristiwa di masa lalu seolah memaksa dirinya untuk mengingat mereka. Kepala Gun terasa penuh, ia mendadak pusing. Gun menelungkupkan wajahnya di atas meja seraya memejamkan mata, berharap kepalanya kembali ringan dan tenang.

"Hai, are u okay?" Sebuah suara dan tepukan pada bahu menginterupsi Gun. Ia mengadahkan kepalanya dan melihat seorang lelaki berwajah asing yang kini sudah duduk di hadapannya.

"Sorry, ganggu ya?" Gun ingin sekali berteriak di depan wajah pria itu bahwa dirinya sangat mengganggu Gun. Namun jawaban yang Gun berikan hanya sebuah gelengan singkat sekedar menunjukkan rasa sopan.

"What's your name?" Gun menatap pria itu datar dan tak berminat. Dalam hati ia memaki pria itu karena menambah rasa pusing di kepalanya.

"Att. Call me Att," jawab Gun basa-basi. Ia tidak sepenuhnya berbohong, Att memang potongan dari nama panjangnya. Namun tidak ada seorang pun yang pernah memanggil Gun begitu.

"Att? Sounds cute." Pria itu mengulurkan tangannya seraya tersenyum. "Call me Joss. Salam kenal Att." Gun hanya tersenyum kecil.

"Mau dansa di sana? Kayanya lo lagi butuh hiburan," tawar Joss sambil menunjuk area di depan panggung yang padat akan pengunjung.

"No, but thanks."

Meski mendapat penolakan, Joss pantang menyerah dan terus melanjutkan niatnya mengajak Gun untuk berdansa. "Ayolah, jangan lesu gitu. Bentar aja deh, abis itu terserah lo mau kemana."

Gun menatap pria di depannya dengan tatapan mengusir, namun tampaknya Joss tipikal pria yang tidak peka—atau justru berpura-pura tidak peka? Joss justru tetap memandang Gun dengan tatapan memohon agar Gun bersedia ikut bergabung dengannya di depan panggung.

Tentang Kita [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang