8

270 32 1
                                    

Jakarta, 25 Februari 2020
Bandara Soekarno-Hatta | 08:12 WIB

Suasana bandara pagi itu cukup ramai. Mungkin karena sedang libur panjang akibat dari pergantian tahun ajaran baru—banyak orang yang memutuskan untuk berlibur. Beberapa orang berdesak-desakan untuk membeli tiket atau sekedar menunggu jemputan.

Sama seperti seorang pria dengan koper hitam di tangannya. Pria itu mengenakan kaos putih polos dibalut jaket kulit serta celana jeans yang juga berwarna hitam. Pria itu berkali-kali memeriksa jam di pergelangan tangannya, kadang tampak menghubungi seseorang dengan raut kelelahan.

"Bang Singto."

Singto menoleh pada asal suara. Ia tersenyum lembut pada seseorang yang baru saja memanggilnya. Sudah empat tahun lebih ia tidak bertemu dengan orang tersebut.

"Adek."

Seseorang yang dipanggil dengan sebutan adek itu menubruk tubuh Singto dengan sebuah pelukan. "Gue kangen banget sama lo, bang." Singto tertawa, ia melepas genggamannya  pada gagang koper dan membalas pelukan adiknya itu. "Masih aja manja ya lo."

Disebut manja oleh abangnya sendiri, Fiat melepas pelukannya dengan sedikit kasar. "Nyebelin banget si lo bang, gue beneran kangen tau ga," sungut Fiat sebal.

Melihat itu senyum Singto melebar. Adiknya ini tidak berubah, masih menggemaskan dan bawel seperti dulu. Hanya saja, sekarang tingginya sudah bertambah, wajahnya mulai terlihat tampan, suaranya pun terdengar lebih berat.

"Lo kok makin bongsor aja sih, Dek?"

Fiat melotot tajam, ia tidak terima disebut berbadan bongsor. Fiat itu rajin olahraga, tau! "Nyesel banget gue jemput abang, mending tadi tidur di rumah."

Setelah berkata begitu, Fiat melenggang pergi, meninggalkan Singto yang masih tertawa sambil menatap punggung adiknya yang menjauh. Hatinya menghangat, adiknya benar-benar masih sama, masih Fiat si bocah kecilnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Singto menggeret kopernya dan berjalan terburu-buru menghampiri Fiat yang sudah lebih di depan.

"Naik apa ke sini?"

"Naik getek. Ya, mobil lah abaang."

Singto terkekeh pelan  melihat adiknya yang tampak geregetan. "Mobil yang mana?"

"Mobil kita sisa satu, Bang."

Singto terdiam merutuki kebodohannya dalam berbicara. Ia lupa jika kini keluarganya sudah tidak seperti dulu.

"Sendiri?"

Fiat hanya mengangguk. Setelah sampai di depan mobilnya, mereka langsung masuk dan membelah jalanan dengan kecepatan dibawah rata-rata. Di dalam mobil, kedua kakak beradik itu bercerita banyak hal yang telah melewatkan selama tidak berada di sisi satu sama lain.

"Wajar sih, dunia fashion sekarang udah ga sama kaya dulu," ucap Singto setelah mendengar cerita adiknya tentang perusahaan ayahnya yang sedang diambang kehancuran.

"Rencana abang ke depannya gimana?" tanya Fiat sambil fokus menyetir.

"Untuk sekarang, abang masih belom tau. Gue perlu mastiin beberapa hal di kantor nanti, setelah itu baru deh gue berani ambil langkah selanjutnya."

Fiat tersenyum. Matanya melirik sang Abang yang tampak memikirkan sesuatu. Untuk Fiat, abangnya adalah sosok teladan. Kuliah di luar negeri dan mendapat beasiswa, lulus kuliah dalam waktu singkat, dan pernah membangun perusahaan sendiri. Keren banget, kan?

"Bang, gue minta maaf ya." Singto menolehkan pandangannya. "Gara-gara urusan kuliah gue, abang harus nutup perusahaan yang di Amerika. Gue ngancurin mimpi lo, ya?" Fiat menoleh sejenak, menatap abangnya tepat di netra hitamnya.

Tentang Kita [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang