penggal tujuh

106 84 8
                                    

Cafe Mesta nan ramai.

Lampu hias bergantung indah merekat pada dinding cafe, meja dan bangku kayu, suara dawai gitar mengaluni nyanyian lagu romantis

Lampu hias bergantung indah merekat pada dinding cafe, meja dan bangku kayu, suara dawai gitar mengaluni nyanyian lagu romantis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Duduklah nona manis yang sibuk menatap monitor. Tangan menari menciptakan rangkaian kata indah. Meneguk kopi hitam pada gelas bulat putih.

Tanpa disadari duduk seorang pemuda di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanpa disadari duduk seorang pemuda di depannya. Begitu lama dia melihat Surai yang sudah menunduk seraya mengetuk meja menciptakan birama.

"Hai nona." sapa pemuda dengan senyum lebar membuat atensi taruni beralih padanya.

"Kamu sejak kapan disini?" tanya puan kaget melihat siapa gerangan.

"Sedari tadi aku hanya memandangimu menunduk malu."

Puan membereskan semua perkakas dan pergi tanpa pamit.

Diikuti langkah kaki pemuda tersebut. Mencekal tangan mungil, "Surai tunggu. Jangan terus kabur seperti ini,"

"Ada apa lagi?" tanyanya sedikit suara tinggi.

"Mengapa selalu menghindar? Apa aku berbuat kesalahan?" tanya pemuda tersulut emosi.

"Tidak." dijawab singkat.

"Lalu," mata menilik meminta penjelasan.

"A-aku... a-akuu hanya butuh waktu untuk mencerna pengakuan cintamu di tempo hari lalu." melepas cekalan tangan.

"Kita duduk dulu sembari membahas ini. Suasana sudah terlihat canggung."

Mengajak Surai duduk pada sebuah bangku di luar cafe.

Abudaga ; Kim Rowoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang