Partha dan Surai menjalin kasih dan tertinggal semua kenangan semu di setiap tempat kota Bandung. Tak luput dari senyum yang kian melebar, bersenandung kuat memamerkan kemesraan. Kini semesta hanya milik mereka saja.
"Sungguh malam ini aku bahagia nona manis," bisik taruna disela-sela tawanya.
Mereka menontoni sebuah panggung yang berisi sepuluh orang sibuk menari, bersuara. Panggung cinta namanya.
"Pun denganku tuan," jawab Surai melirik dengan iris bersinar gemilau.
Tungkai mereka bersamaan keluar dari panggung cinta. Diikuti sepasang kekasih lainnya yang berpeluk erat enggan tuk lepas.
"Mari kita mengisi perut dengan jajanan kota Bandung," ajak Partha seraya meletakkan tangannya pada bahu kecil nyonya manis.
"Ayo, cacing di dalam sudah menggerutu karna tak diberi asupan,"
Sungguh malam ini mereka bahagia, terikat dalam kisah cinta yang baru saja terjalin.
Duduk di taman sembari membicarakan segala topik, bahkan siapapun yang lewat akan menatap mereka iri. Seakan sendu cerita kehidupan telah pamit dari sepasang insan ini.
"Tuan, mari kita lihat insan yang sedang bernyanyi di pinggir jalan," tawar Surai kepada Partha yang sedari tadi begitu betah meletakkan tangan pada pinggang nyonya manisnya.
"Baiklah,"
Kalian tahu, jika ada alat pengukur kebahagiaan mungkin dua insan ini akan mendapati batas bahagia paling akhir dialat itu.
"Kamu begitu menyukainya?"
"Tentu, alunan lagu ini begitu ku puja setiap malamnya. Menemani malamku yang kalbu,"
"Seperti judul lagunya, hidup juga pasti akan seperti benang kusut yang tak jua menemukan ujung," timbal Surai bersenandung mengikuti alunan lagu.
"Sembari lagunya menghampiri penghujung, aku akan duduk menunggu di kursi itu sayang," ujarnya pamit duduk tak jauh dari kaki pijakan Surai.
Hanya dibalas dengan deheman, terlihat Surai begitu menyukai.
"Membiru indraku, susah payahku melepasmu. Terlihat ku palsu, tanpa rasamu menjamahmu tanpa ragamu disampingku-uuuuu," ingatan Surai melantuni setiap lirik lagu.
Dasar, nona manis. Hanya mendengar lagi itu seperti di awan kebahagiaan rasanya, batin taruna ikut gembira hati melihat nyonya manis terus menyanyi merdu.
Penghujung lagu telah tiba,
"Huh, cepat sekali waktu berputar. Aku baru bernyanyi di bait kedua," gerutu Surai menghampiri Partha.
"Mari lanjutkan perjalanan," menarik tangan. Dan yang ditarik hanya menurut saja.
"Kemana lagi kita? Hmm bagaimana kita foto di depan gedung tua itu?" celoteh Surai.
"Dengan senang hati nona," lantas mengambil kamera tua. Mengambil posisi lalu,
jepret
Satu foto tercipta malam itu. "Lagi, aku terlihat jelek disitu," komentar Surai. Partha hanya menuruti, mengambil foto dengan kamera,
jepret
Sudah dua foto tercipta, "Bagaimana? Puas dengan hasil?" Tanya Partha pada Surai yang sedang melihat hasil foto, "Bolehlah, kecantikan paripurnaku begitu jelas disini," ujar Surai berbangga diri.
"Lanjutkan perjalanan,"
Namun, rintik hujan jatuh begitu cepat ke bumi. Membuat semua manusia berlarian mencari tempat persinggahan.
"Kenapa harus hujan sih," ucap Partha tak puas, "Hei, tak boleh begitu. Hujan itu anugrah," timbal Surai melangkahkan kaki pada jalanan yang sudah basah itu. Aroma jalan begitu sopan masuk ke dalam hidung Surai."Hei, nanti kamu sakit nona," ujar Partha khawatir, "Tidak, aku sudah berteman baik dengan hujan. Tak bakal menyakitiku, percayalah," sahut Surai menari-nari gembira di bawah rintik hujan nan deras itu.
"Kemarilah, mendekap padaku tuan. Disini jauh lebih nikmat daripada tempat singgahmu itu," seraya menarik paksa tangan tuan tampan.
"Hei," komentarnya yang badannya sudah basah kini.
"Rasakan saja rinainya tuan, niscaya kehangatan akan memelukmu," perintah Surai pada tuan tampan yang hanya menatap kebingungan.
Bagaimana hujan menimbulkan kehangatan, jelas ini sangat dingin, batin Partha membingung.
Surai melompat, menjerit, tertawa dan menari-nari begitu indah melupakan puluhan manusia kini melihatnya penuh kebingungan.