Setelah pesan yang di terima, mereka saling memberi kabar dan janji akan bertemu lagi setelah lima warsa hilang ditelan bumi.
Bandung, 27 Juli Kota yang sejuk suasananya, sudut kota selalu terdapat tempat menarik untuk disinggahi. Tak akan ada waktu melihat Bandung tak ramai pengunjung, pasti semua orang berbondong-bondong melihat banyak pelita yang bersinar terang dan mengalahi kelap kelip rembulan.
Pukul delapan dua titik tujuh, Surai melirik arloji yang menempel erat pada dinding cafe bernuansa lawas tersebut. Cafe Mesta, begitulah nama yang terpampang jelas pada atas bangunan ini.
"Lama sekali Partha datang," ujar gelisah. Menunggu taruna yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Surai yang begitu cantik nan lugu. Berparas elok dengan iris mata nan kemilau.
"Hai Surai," sapa taruna bersamaan dengan kedatangannya.
"Partha," sahut ramah dengan senyum tipis.
Lalu duduk pada kursi kayu yang ada didepan mata Surai.
"Sudah lama kita tidak berbincang seperti ini, apalagi tempat ini banyak kenangan bagi Partha dan Surai yang dulunya masih menjadi kekasih."
"Ternyata masih tersimpan semua dalam memorimu. Gembira hati mendengarnya," kata Partha tak percaya diri seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aku masih sama sayang, mencintai tanpa memiliki. Cinta yang dulu selalu kujaga dan tak akan pernah padam," menatapnya sendu.
"Tentu diriku ingat dengan jelas semua tentangmu. Sembir jalanan kota ini kita telurusi, meninggalkan jejak dan juga gelak tawa,"
"Partha... a-abdi cinta Surai...,"
"Benar bukan?"
Partha dan Surai, dua insan bercerita mengenang kisah kelam. Ditemani rindu tentunya.
Entah sudah berapa selumbari yang mereka lewati, hingga sekarang mereka kembali saling menyapa. Setah lama tak bersua pada masa putih abu-abu.
