Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.
Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya.
"Kamu punya stok tolak angin?" tanya Ali.
"Kamu masuk angin?" tanya Emir balik.
"Ha ha ha ..., sedari tadi kita main tanya-tanya terus, tanpa jawaban," tawa Ali menggema di lorong FE kampus.
"Aku ga punya tolak angin, tapi tidak jauh dari sini ada minimarket yang menjual tolak angin, karena pemiliknya orang asli Indonesia," terang Emir bercerita.
"Wow, keren sekali, orang Indo punya minimarket di sini?" puji Ali takjub.
"Hampir semua mahasiswa Indonesia kalau ga enak badan, atau mau ngemil, pasti larinya ke minimarket itu," terang Emir lagi.
"Oke, aku masuk dulu. Kamu tinggal lurus saja, nanti ada tulisannya di papan," pamit Emir begitu sudah sampai di depan kelasnya. Sebenarnya hari ini tidak ada perkuliahan, ia hanya mengikuti kelas menulis yang dibuat oleh salah satu dosen bahasanya. Ya, Emir memang kuliah jurusan Ekonomi, tetapi begitu menyukai dunia literasi.
"Makasih, Mir. Nanti aku tunggu di kursi taman depan ya. Temani beli tolak angin," ujar Ali sambil menganggukkan kepala.
"Oke," jawab Emir.
Mereka berpisah di depan pintu kelas Emir, Ali melanjutkan langkahnya ke ruang admininstrasi kampus Fakultas Ekonomi Manajemen. Sedangkan Emir masuk ke ruang kelas.
Uueek...
Ali kembali merasakan enneg di perutnya. Sudah tiga hari seperti ini, stok tolak angin dan obat anti mabuk yang ia bawa dari rumah sudah keburu, tetapi rasa mual dan pusingnya belum juga hilang.
Ali duduk di kursi tunggu, karena sudah ada lima mahasiswa mengantre. Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak, karena rasanya begitu tidak nyaman. Ali mengambil ponsel, lalu mengetik pesan untuk mamanya.
Ma, apa sudah ada kabar dari Teh Parni?
Ali menunggu balasan pesan itu dengan risau, karena tak kunjung dibaca oleh sang mama. Sekarang gilirannya untuk masuk, mencoba keras menahan mual dan pusing di tengah hiruk pikuk suasana kampus.
"Bitte setzen!"
"Danke," Ali duduk di depan petugas administrasi kampus. Mencoba membuka matanya lebar, karena kepalanya kini berputar-putar.
"Geht es dir gut?" tanya wanita setengah baya yang memandang wajah Ali sedikit pucat.
"Im' oke," jawab Ali sambil mengangguk.
"Ich bat um eine legalisierte Akte aus Indonesien und ein Anschreiben vom Campus," pinta wanita tersebut.
Belum sempat Ali mengambil berkas dari dalam ranselnya, pandangannya sudah benar-benar gelap.
Bugh!
Ali pingsan, dan membuat ruangan administrasi menjadi heboh.
****
Sementara itu, di warung soto yang selalu ramai pengunjung, membuat Parni tak hentinya bermain air cucian piring. Meskipun sudah menggunakan apron, tetap saja sebagian bajunya basah, kecipratan air. Keringat pun membanjiri wajah dan tubuhnya. Lemas sekali sudah tiga hari ini, Parni bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pengantin yang Dinodai
RomanceDewasa(21+) Judul awal Gagal Menikah. Semua wanita single pasti menginginkan pendamping. Begitu juga dengan Parni, betapa senangnya ia saat sang pacar Iqbal melamarnya. Menanti hari bahagia dengan tak sabar menghitung minggu. Namun sekali lagi, ma...