Awan gelap memayungi bumi, kelam dan dingin merasuk pori-pori kulit. Hujan besar sepertinya sebentar lagi akan turun, melihat awan yang tadinya putih, kini berganti warna.
Tangan lelaki dewasa itu gemetar, bahkan dadanya tidak berhenti berdetak dengan sangat cepat saat mendengar kabar calon istrinya pulang ke rumah dalam keadaan tidak baik.Hatinya resah, ia merasa begitu bersalah pada Parni. Ia akan bertanggung jawab apapun itu, Iqbal akan berusaha berlapang dada. Jika ini adalah bagian dari ujian cintanya pada Parni.
Iqbal membuka pintu pagar rumah Anton, sepupunya. Kemudian masuk dan memarkirkan motornya di samping mobil Anton. Dengan tergesa ia turun dari motor. "Assalamua'alaykum," ucapnya di depan pintu rumah Anton.
"Wa'alaykumussalam," jawab Bik Jum, pembantu rumah keluarga Anton. Lalu membukakan pintu untuk Iqbal.
"Masuk, Den, sudah ditunggu!" Bik Jum mempersilakan Anton untuk langsung menuku kamar Parni.
"Bu," panggilnya lemah pada Bu Parti. Wanita paruh baya itu menoleh, cucuran air mata sudah membasahi kedua pipinya. Matanya pun tampak sembab. Di sebelahnya ada Parmi, adiknya Parni yang sama sedihnya dengan sang ibu.
Iqbal mengambil langkah lebar, menyusul Parmi dan ibunya berdiri di depan pintu kamar Parni.
Tok! Tok!
"Parni, buka sayang. Ini saya, Iqbal," seru Iqbal sambil mengetuk cukup keras pintu kamar. Tak ada sahutan, tetapi Iqbal tidak menyerah ia terus saja mengetuk pintu kamar. Di dalam sana, Parni sedang menutup telinganya kuat, dengan gelengan kepala yang tak kalah kencangnya. Tubuhnya gemetar, air matanya tak berhenti mengalir deras, membasahi bantal dan pakaian yang ia kenakan.
"Parni, kamu ga papa'kan? Sarapan ya, sayang. Ini aku bawakan nasi pecal kesukaan kamu. Makan ya?" bujuk Iqbal lagi. Parmi dan Bu Parti memandang Iqbal dengan wajah sendu. Tangan wanita paruh baya itu terangkat ke atas, memegang lembut pundak Iqbal. Mencoba memberinya dukungan.
"Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar minta maaf, semua salah saya," lirih Iqbal dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
Bu Parti hanya bisa mengembuskan nafas beratnya. Sebagai seorang wanita dan seorang ibu, ia yakin pasti hal buruk sudah menimpa anak sulungnya ini. Namun ia tidak boleh berprasangka, dan berharap jangan sampai anaknya menimpa musibah yang berat.
Sudah jam dua siang, dan Iqbal masih setia di depan pintu kamar Parni. Wanita itu tidak membuka pintu kamar juga, padahal ia belum makan apapun, bahkan air putih pun tidak tersedia di dalam kamar.
"Aku akan tetap di sini sampai kamu bukakan pintu!" tegas Iqbal berbicara dari balik pintu.
"Maaf, Mas. Maaf," bisik Parni lemah, ia masih sesegukan hingga matanya kembali terlelap.
Iqbal masih setia duduk di kursi dapur, memandangi pintu kamar yang tak juga terbuka. Nasi pecal yang sengaja ia belikan untuk Parni pun akhirnya tidak tersentuh.
"Makan dulu, Bal. Sudah jam dua!" titah Bu Parti menghampiri calon menantunya itu. Di tangan wanita paruh baya itu sudah ada sepiring nasi lengkap dengan ayam goreng dan juga sambal. Jujur, perutnya pun lapar saat ini, namun semua itu mengalahkan rasa khawatirnya pada Parni. Ya Tuhan, bahkan saat ini, ia merindukan senyum malu-malu Parni yang selalu terbit jika ia mengodanya.
"Bal," panggil Bu Parti lagi sambil mengguncang bahu Iqbal. Lelaki itu tersentak, "eh, iya Bu. Nanti saya makan, terimakasih, Bu," ujarnya sungkan. Bu Parti meninggalkan Iqbal yang kembali termenung, dengan pandangan lurus tepat di depan pintu kamar Parni. Tanpa menoleh pada makanannya, Iqbal kembali berjalan menuju kamar Parni.
"Sayang, buka dong pintunya! Kita bicara, apapun itu aku ga akan marah. Aku janji!"
Masih tidak ada sahutan atau pergerakan di dalam sana. Iqbal tidak menangkap suara apapun saat telinganya ia tempelkan di pintu. Iqbal kembali menunduk, menghela nafas berat. Bahkan kini kedua jari telunjuk dan jempolnya terangkat memijat pelipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pengantin yang Dinodai
RomanceDewasa(21+) Judul awal Gagal Menikah. Semua wanita single pasti menginginkan pendamping. Begitu juga dengan Parni, betapa senangnya ia saat sang pacar Iqbal melamarnya. Menanti hari bahagia dengan tak sabar menghitung minggu. Namun sekali lagi, ma...