Papa untuk Amira 6

673 81 8
                                    

Emir mencari tahu obat apa yang kini ada dalam genggamannya. Ternyata pil itu adalah obat pencegah kehamilan. Sudah ada tujuh tablet yang terbuka dari satu strip obat pencegah kehamilan tersebut. Kenapa sudah Farah minum sebanyak tujuh tablet? Berarti sebelum menikah, ia sudah terlebih dahulu mengonsumsi obat ini? Tega sekali.

Emir berjalan ke tempat sampah, melemparkan obat itu ke dalamnya. Segera ia membuka ponsel, ada beberapa pesan dari Farah yang menanyakan keberadaannya. Ada juga lima panggilan tak terjawab dari Farah, dan satu panggilan video. Semua ia acuhkan, karena rasa kesal yang teramat sangat. 

Jemarinya menggeser layar ponsel, ada pembaruan status dari istrinya yang sedang menikmati kopi dengan majagernya di sebuah restoran di Malaysia. Hatinya terbakar cemburu, bagaimana bisa begitu ceria senyum sang istri saat menikmati siang di sana, dengan lelaki yang bukan suaminya. 

"Sayang sekali tiket ke Bali yang sudah aku beli," gumam Emir dengan lemas. Semua sudah ia pesan untuk acara bulan madu selama tiga hari di sana. Cottage tepat di depan pantai, yang bila malam, akan sangat romantis bagi pasangan yang sedang menikmati liburan di sana. Sebenarnya ia ingin memberi kejutan pada Farah pagi ini, namun ternyata, sang istri lebih dulu memberi kejutan yang di luar logika. 

[Selamat bersenang-senang]

Emir mengirimkan pesan pada Farah. Lekas ia berganti pakaian, bahkan ia memasukkan beberapa stel baju dan celana, serta topi ke dalam tas ransel. Ya, Emir memutuskan untuk berangkat sendiri ke Bali, demi mengusir rasa kecewanya.

"Bik, kunci rumah bawa saja ya, saya mungkin tiga hari tidak pulang," ujar Emir pada pembantu rumah yang sedang membukakan pagar untuknya.

"Iya, Tuan. Mau menyusul pujaan hati ya," sahut bibik sambil menyeringai. Emir hanya tersenyum, lalu menginjak pedal gas mobilnya, berlalu dari komplek perumahan mewah yang ia beli untuk istrinya.

****
"Bu, haus," rengek Amira saat tengah dituntun Ami berkeliling warung, untuk menaruh peyek. 

"Ini, ayo minum. Kasian anak Ibu, maaf ya Sayang, capek ya?" ujar Ami merasa kasihan dengan tubuh puterinya yang berpeluh. Dengan sapu tangan, ia mengeringkan keringat di kening dan juga di leher Amira. Gadis kecil itu, meneguk air putih yang selalu dibawa oleh Ami, bila tengah berkeliling seperti ini.

Ami bejongkok memunggungi Amira, lalu ia menepuk punggungnya agar Amira mau naik ke atasnya.

"Ayo, Ibu gendong," ajak Ami. Gadis kecil itu pun tersenyum, lalu dengan cepat naik ke punggung ibunya. 

"Belat ya, Bu?"

"Tidak, Sayang." 

"Ibu ada tutuna dak?"

"Ya, nggak ada dong. Rambut Ibu bersih." Ami tertawa mendengar pertanyaan sang puteri. 

Tubuh gembul Amira, membuat Ami menggendongnya dengan sekuat tenaga. Belum lagi beban dua puluh bungkus peyek, yang kini ia bawa dalam dua kantong plastik besar dengan tangan kirinya. Masih dua warung lagi yang belum ia datangi, yang jaraknya cukup jauh dari rumah kontrakannya. 

Dada hali mindu

Tutulut ayah te tota

Naik delman itimewa

Tududuk di muta

"Ayah itu apa ,Bu?" tanya Amira tiba-tiba berhenti bernyanyi.

"Ayah itu, sama seperti Papa."

"Oh, Mila tapan ada papa ayah, Bu?"

"He he he ... Nanti ya," jawab Ami dengan senyum mengambang. Maafkan Ibu, Nak. Sepertinya Amira dan Ibu akan selamanya berdua, tanpa ayah atau pun Papa. Maafkan Ibu ya, Amira. Aminarsih bermonolog dengan mata berkaca-kaca.

Calon Pengantin yang DinodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang