****Seorang lelaki dewasa tengah duduk gelisah di kursinya, sudah dua puluh menit sejak dia kembali dari kamar mandi, pacarnya tidak ada. Iqbal mencoba untuk tidak berpikiran jelek. Dengan sabar ia menunggu sang kekasih yang tidak kunjung keluar dari lorong toilet. Tas selempang rajut milik pacarnya pun tergelatak manis di atas meja. Tentu saja itu yang membuat Iqbal berpikiran kalau Parni sedang berada di toilet.
Iqbal menarik nafas gusar, matanya sejurus ke arah lorong toilet, namun tak ada tanda-tanda juga. Akhirnya Iqbal memutuskan untuk menyusul Parni di toilet wanita. Ada petugas wanita muda di sana yang sedang membersihkan kaca.
"Mba, Permisi," sapa dengan wajah sedikit pias.
"Ya, Mas. Ada apa?" tanya si petugas cleaning service tersebut.
"Saya sedang menunggu pacar saya, pakai baju kaus sama seperti saya ini. Sudah hampir setengah jam tidak keluar juga dari toilet," terang Iqbal hampir putus asa.
Kening wanita itu berkerut. "Tak ada perempuan yang masuk ke toilet sejak setengah jam yang lalu, Mas. Coba saja Mas cek." Petugas itu memberi jalan bagi Iqbal untuk mengecek keadaan dalam bilik toilet. Dari enam pintu yang ia buka semuanya kosong. Lalu ke mana Parni? Dengan menenteng tas selempang milik Parni, Iqbal mencarinya ke sana-kemari. Bertanya pada pelayan restoran apakah melihat wanita dengan ciri-ciri Parni, tetapi semua orang yang ditanya malah menggeleng. Dada Iqbal bergemuruh, ia benar-benar takut sesuatu yang buruk terjadi padaParni.
Iqbal mengambil ponselnya, lalu cepat menekan lama angka satu untuk segera terhubung pada ponsel Parni. Dering ponsel ditangkap oleh telinganya. Ya Allah, Parni tidak membawa ponselnya. Suara itu berdering dari dalam tas selempang milik Parni.
Apa yang harus aku lakukan? Ke mana calon istriku? Ya Allah, tolong selamatkan ia.
Rapal Iqbal dalam hati. Tangannya masih gemetar, saat memberikan satu buah kartu tipis pada kasir untuk membayar tagihannya.
"Mbak, jika melihat calon istri saya yang seperti ini, tolong kabari ya," ucapnya lemah sambil menyodorkan foto selfie dirinya dengan Parni sesaat sebelum makanan mereka dihidangkan. Iqbal juga meninggalkan sebuah kartu nama.
Entah apa yang harus ia katakan pada keluarga Parni. Iqbal berjalan gontai menuju parkiran, sempat duduk lama di dalam mobilnya. Masih memperhatikan lalu lalang orang di depannya. Namun nihil, hingga setengah jam berlalu tak ada Parni di sana. Iqbal menyalakan mesin mobilnya, ia memutuskan untuk langsung ke rumah Parni.
Rasa bersalah bersarang di dadanya, jika ia menuruti maunya Parni makan di restoran dalam mall saja, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Ia harus siap jika sepupunya Anton memukulnya, atau pun calon ibu mertuanya yang memakinya. Ia harus siap.
"J-jangan, Den. I-ingat, ini sa-ya Teh Parni, b-bukan Karina," lirih Parni dengan suara putus-putus. Sesaat setelah sadar dari pingsannya, kedua tangannya kini sudah dicekal Ali di atas kepala. Baju kausnya entah sudah ada di mana, begitu pun juga roknya.
Kini hanya tersisa bra dan celana dalamnya saja. Parni meronta sekuat tenaga. Menangis, berteriak, bahkan memelas memohon pada Ali agar menghentikan perbuatan bejatnya. Lelaki itu tak acuh, terus saja mencecap kulit tubuh Parni dengan bibirnya, bahkan sesekali mengisapnya kuat, dari atas hingga ke bawah. Hingga menimbulkan bercak merah keunguan di sekujur tubuhnya. Semakin ia meronta, maka semakin buas Ali mencumbunya.
"Tubuhmu bagus sekali, aku suka," oceh Ali sesaat, "oh, sayang," racaunya saat kembali memainkan dada Parni.
Parni lelah, ia sudah kehabisan tenaga. Ia rasa kesadarannya pun akan kembali menghilang. Parni menyerah, ia berharap Tuhan ambil saja nyawanya saat ini. Tepat saat Ali menarik paksa celana dalamnya. Bayangan wajah calon suaminya, Iqbal lewat di kepalanya. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga mahkotaku. Aku mencintaimu, Mas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pengantin yang Dinodai
RomanceDewasa(21+) Judul awal Gagal Menikah. Semua wanita single pasti menginginkan pendamping. Begitu juga dengan Parni, betapa senangnya ia saat sang pacar Iqbal melamarnya. Menanti hari bahagia dengan tak sabar menghitung minggu. Namun sekali lagi, ma...