Emir, Amira, dan Aminarsih sudah berada di dalam bus, menuju Bali. Kenapa bisa naik bus? Karena Emir membatalkan tiket pesawat bisnisnya. Ami tak memiliki KTP, sehingga tidak memungkinkan untuk berangkat dengan pesawat bersama dengannya.
Tak masalah bagi Emir, yang penting saat ini ia tengah menikmati langit malam bertabur bintang, dengan Amira yang duduk di pangkuannya. Ami tersenyum penuh arti. Dia yang duduk di kursi seberang, ikut menikmati perjalanan dengan menatap jalan tol yang padat merayap.
"Tidur saja! Aku akan menjaga Amira," ujar Emir pada Ami.
"Tak apa, Tuan. Saya akan menunggu Tuan dan Amira tidur, baru saya tidur.," jawab Ami sambil tersenyum. Bus eksekutif yang dinaiki mereka hanya terisi lima belas bangku, sedangkan sisanya kosong. Mungkin karena hari ini hari senin.
"Kamu lapar?"
"Mmm ... Tidak, Tuan. Lagian ini masih ada roti yang tadi Tuan belikan." Ami mengangkat bungkusan plastik roti dengan gambar koki gemuk berwarna kuning.
"Oh, ya sudah." Emir mengangguk paham.
"Ibu, dudut cini!" Amira memanggil ibunya untuk duduk di sampingnya.
"Ibu di sini saja, Sayang. Di situ sempit," tolak Ami dengan halus.
"Ibu, cini!" Amira mulai merengek.
Dengan berat hati dan penuh rasa sungkan, Amira meminta izin pada Emir, "boleh saya duduk di situ, Tuan?"
"Ya ampun, Ami. Ya sudah, sini!" Emir menggeser sedikit tubuhnya, agar Ami bisa duduk dengan sedikit leluasa.
Kini mereka bertiga sudah duduk di bangku yang sama. Jika orang yang melihat sekilas, mereka tampak seperti sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan anak yang sangat menggemaskan.
"Maaf, jadi sempit Tuan."
"Sempit dari mana? Lha, kamu kurus begitu." Emir mencebik, bermaksud berseloroh. Namun, bukannya tersenyum, Ami malah meneteskan air mata.
"Lho, ada apa, Mbak? Jangan tersinggung, maksud saya bercanda."
"Lelaki yang menikahi saya, lalu membuang saya di villa itu, juga mengatakan saya kurus bagai cacing kremi," sahut Ami dengan air mata sudah membasahi pipi.
"Aduh, maaf Mbak Ami. Maksud saya bukan seperti itu." Emir benar-benar merasa tidak enak.
"Maafkan saya, ya?" Emir mengusap pundak Ami, membuat Ami berjengkit kaget.
"S-saya yang minta maaf, Tuan. Sudah diajak jalan-jalan bukannya senang, malah membuat susah," sahut Ami tak kalah sungkan.
"On, natalin ibu Mila?" tanya Amira saat menoleh ke arah Ami dan melihat ibunya sedang menangis.
"Nggak kok, Sayang," jawab Ami cepat.
"Ayo, On. Tinta aap!" Amira menarik tangan Emir, sampai menyentuh pipi Ami. Membuat Emir menelan salivanya, entah kenapa hatinya tiba-tiba saja berdebar. Ami mengelak, sambil tersenyum sumbang.
"Ibu hanya kelilipan, Sayang. Bukan sedih. Ayo, Mira tidur yuk. Sudah malam," ajak Ami. Gadis kecil itu mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya dengan nyaman di dada Emir. Kursi yang diduduki oleh Emir, sedikit diturunkan, agar Amira nyaman berbaring di dadanya. Pemandangan yang membuat hati Ami tersayat-sayat. Amira begitu nyaman tidur di atas dada Emir, lelaki yang bahkan baru dua kali ia temui.
"Tidurlah! Perjalanan kita masih panjang. Besok pagi baru sampai."
"Memangnya dari Surabaya ke Bali, berapa jam kalau naik bus, Tuan?"
"Sepuluh sampai dua belas jam. Jadi besok pagi, mungkin jam tujuh atau jam delapan kita baru sampai."
"Oh, iya."
Hening kemudian, tak ada percakapan di antara mereka. Amira pun sudah terlelap, bersama Emir yang memakai topi hoodie untuk menutupi sebagian wajahnya. Lambat laun, Ami pun ikut terlelap, kepalanya bersandar di punggung kursi dengan sangat nyaman.
Emir merasakan berat di pundaknya, membuat ia membuka mata secara perlahan. Menoleh ke kanan, benar saja, kepala Ami yang bersandar nyaman di pundaknya. Emir tak membuang pandangannya, ia masih asik menikmati guratan wajah Ami, lalu berhenti di dua sudut bibir wanita itu. Ada bekas luka di sana, membuat Emir semakin penasaran. Seberat apa hidup Ami sebelumnya? Untung saja badannya tinggi besar, sehingga dijadikan tempat bersandar dua wanita istimewa tak menjadi masalah.
"Mas, pinjam selimut ada?" tanya Emir sambil berbisik pada kenek bus.
"Ada, Tuan. Sebentar." Lelaki itu mengambil selimut bersih dari dalam box yang ada di atas kursi penumpang, lalu memberikannya pada Emir.
"Mas, tolong selimuti kami. Saya susah bergerak," pinta Emir, yang diikuti anggukan kenek bus.
Setelah dirasa hangat, ia pun mulai memejamkan mata. Entah apa yang akan ia lakukan pada dua wanita yang membuatnya iba ini? Yang jelas, ia akan memperlakukan Ami dan Amira bagai keluarganya sendiri. Ah, semoga saja, ia dan Farah segera diberi keturunan dan menikmati indahnya suasana malam dalam perjalanan seperti ini. Emir bermonolog, sebelum benar-benar menutup matanya.
****
Sementara itu, Farah berkali-kali menelepon suaminya, tetapi tidak tersambung. Hatinya resah bukan kepalang. Setelah mengirimkan pesan selamat bersenang-senang, ia tidak mendapat pesan apapun lagi dari Emir.Bep!
Bep!Cepat Farah melihat siapa yang mengirimkan pesan padanya.
Seno
[Gue kayak lihat Emir di mal tadi siang. Bawa anak kecil sama seorang pembantu kayaknya. Gue gak lihat lu. Emangnya lu ga honeymoon? ]
****
~Bersambung~Bagaimana reaksi Farah selanjutnya? Kisah seru selanjutnya bisa kalian baca di versi cetak ya. Papa untuk Amira tidak akan ada ebooknya. Yuks, ikut PO paket bundlingnya. Dijamin tidak akan kecewa🥰😍
Langsung hubungi nomor yang ada pada banner ya. Terima kasih🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Pengantin yang Dinodai
RomansDewasa(21+) Judul awal Gagal Menikah. Semua wanita single pasti menginginkan pendamping. Begitu juga dengan Parni, betapa senangnya ia saat sang pacar Iqbal melamarnya. Menanti hari bahagia dengan tak sabar menghitung minggu. Namun sekali lagi, ma...