Part 6

2.2K 429 169
                                    

Dua hari sudah Parni tidak keluar kamar, makanan pun tidak ia sentuh. Hanya air putih yang bisa masuk ke dalam mulutnya, karena jika ia memasaksa memasukkan nasi ke dalam mulutnya, yang ada ingatan tentang bagaimana Ali melumat bibirnya tanpa ampun, membuat ia serasa ingin muntah.

Masih dengan air mata yang menggenang Parni mengusap kasar bibirnya, terkadang ia juga memukul kepalanya berkali-kali, merasa sangat bodoh dengan dirinya. Karena dirinyalah yang masuk ke dalam kandang macan yang sedang tidak sadarkan diri. Parni tidak bisa menyalahkan siapapun, sudah cukup, ia takkan mampu menimpa ujian lebih berat dari ini.

Tok! Tok!

"Teh, ada Mas Iqbal," panggil Parmi dari balik pintu kamar Parni.

"Ni, ini saya datang," potong Iqbal cepat, karena memang ia berdiri bersama Parmi.

Tak ada sahutan, kemudian ia memutuskan untuk menggerakkan handle pintu, namun tidak bisa karena terkunci dari dalam.

"Ni, buka dulu, kita perlu bicara," panggil Iqbal lagi dengan nada memelas. Sedangkan Parni di dalam sana menutup rapat kedua telinganya dengan telapak tangan. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun, ia tidak ingin bicara dengan siapapun.

Iqbal menyerah, setelah dua jam Parni tidak memberikan respon. Ia melangkah lunglai menuju ruang tamu, di sana sudah ada kedua orang tuanya, Anton, Parmi, serta Bu Parti. Mereka memandang Iqbal dengan wajah iba, terutama Bu Reni, mama dari Iqbal.

"Bagaimana?" tanya lirih wanita paruh baya itu.

Iqbal menggeleng lemah, ada genangan air mata di sana yang sedikit lagi akan mengucur deras. Iqbal memilih duduk di samping ibunya, dengan menunduk. Sangat susah untuk melepaskan Parni, ia mencintai wanita itu, tapi Parni ingin membatalkan semua karena ia merasa tidak pantas untuk Iqbal dan keluarga, dan Parni mengancam akan bunuh diri, jika sampai Iqbal mengatakan yang sesungguhnya pada Bu Parti, calon ibu mertuanya.

"Maafkan saya, Bu. Rencana pernikahan ini tidak bisa diteruskan," dengan suara sangat berat Iqbal mengambil keputusan paling berat dalam hidupnya.

"Maaf saya tidak bisa memberitahu alasannya, sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Mama, dan Papa, maaf," ucapnya lemah, lalu pergi meninggalkan rumah Parni dengan motornya, setelah Iqbal, kini kedua orang tuanya pun pamit dengan wajah sedih dan kecewa.

"Ya Allah, kenapa nasibmu seperti Parni?" batin Bu Parti, wanita renta itu mengusap dadanya yang sakit.

"Bu...!" Parmi kaget saat menyadari ibunya kini sudah pingsan. Sigap Anton menggendong tubuh ibu mertuanya untuk rebahan di sofa. Parmi masuk ke dalam kamarnya bermaksud mengambil minyak kayu putih.

"Bik, cepat buatkan ibu teh manis, gulanya dua sendok teh saja," titah Parmi pada bibik yang sedang menemani si kembar bermain di karpet ruang televisi.

"Ini, Sayang!" Parmi menyerahkan sebotol baby oil kepada Anton.

"Sayang, ini bukan minyak kayu putih, ini minyak untuk pijat bayi lho," sanggah Anton sambil mengembalikan botol yang diberikan istrinya.

"Ibu bukan bayi sayang," ujar Anton lagi menambahkan. Rasanya ingin sekali menghajar istrinya di atas ranjang.

"Eh, salah ya. Buru-buru, sih. Bentar ya sayang, ibu ambilkan lagi," sahut Parmi langsung melesat kembali ke kamarnya.

Setelah diberi minyak kayu putih, Bu Parti perlahan sadar dari pingsannya, menyisakan air mata yang terus saja mengalir di pipi.

"Sabar ya, Bu. Ibu harus kuat seperti Ade Rai," oceh Parmi memeluk pundak ibunya.

"Siapa itu Ade Rai?" tanya Bu Parti.

"Itu atlit binamarga, Bu, yang ototnya gede-gede kayak bakso atom," terang Parmi antusias.

Calon Pengantin yang DinodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang