Kesebelas🍫

333 58 40
                                    

Laki-laki itu mondar mandir dari balik tirai. Merapalkan doa dalam hati dan menyusun kalimat yang tepat untuk menjelaskan maksudnya. Kalau semua bisa dijelaskan lewat kata-kata kenapa dia harus berpikir sekeras ini.

Suara tirai tersibak, jantung laki-laki itu seperti berhenti seketika. Ia yakin pasti dirinya keliatan seperti cacing kepanasan. Untungnya cuma suster. Walaupun suster menatapnya aneh. Tapi itu lebih baik dibanding perempuan yang menjadi alasannya gugup.

"Pak, bukannya bapak wali bu Ayana?" Tanya suster ketika Brian membelakangi dirinya, malu.

"Udah enggak, sus. Dibawa sama suaminya."

Suster yang mendengar jawaban tersebut memilih untuk pamit dan lebih gak ikut campur. Walaupun jawaban yang dilontarkan gak menjawab pertanyaannya.

Satu menit kemudian Brian menenangkan nafasnya dan mengintip dari balik tirai bilik Regina. Perempuan itu sedang menatap kosong arah langit langit. Brian semakin gemetaran untuk mengajaknya berbicara. Mungkin perempuan itu butuh waktu untuk sendiri?

"Gak usah ngintip. Mata lo bisa bintitan"

Yang disindir kaget dan menjauh dari tirai. Ia kemudian melangkah mantap untuk masuk. "Hmm... sorry?" Ucap Brian sambil menggaruk kulit kepalanya yang gak gatal.

"Untuk?"

"Ngintip"

"Oh." Regina masih menatap lurus ke arah langit langit berplafon putih dihiasi lampu led terang khas rumah sakit. "Di luar langitnya bagus?" Tanya perempuan itu.

Lelaki itu melihat sekitar dan bingung dengan jawaban dari pertanyaan Regina barusan.

"B-bagus..."

"Gue udah lama gak liat langit malam dengan leluasa. Setiap malam gue terkurung dalam sangkar. Kayak peliharaan."

Brian menarik kursi di dekatnya dan duduk. Mendengarkan Regina dengan seksama. Mungkin perempuan itu memang butuh tempat cerita.

"Dia buat gue bahagia dan sengsara dalam waktu bersamaan. Oh iya... mumpung gue inget. Pasti lo diceritain Jevian soal gue hamil? Atau enggak?"

"Iya, gue tau."

"Janinnya gak kuat di tubuh gue. Dia udah pergi duluan. Tadi dikabarin dokter."

Laki-laki itu menganga gak percaya. Matanya kemudian berkaca-kaca. Padahal Regina belum menjadi siapa-siapa dalam hidupnya. Tapi dia bisa merasakan penderitaan seorang Regina.

"Lo gapapa kan?" Tanya Brian yang jawabannya sudah Ia tau sendiri.

Ternyata dirinya salah, Regina memilih untuk gak menjawab dan menggantinya dengan tetesan air mata. Seketika bantal yang ia gunakan basah bekas air matanya. Ia menangis tanpa kata dan jawaban. Brian tetap melihatnya, ikut merasakan deritanya. Aneh. Perasaan apa ini? Apakah perasaan yang mencair seperti cokelat ketika dipanaskan?

"Gue gapapa" ucap Regina setelah menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Gue gapapa" ulangnya sembari melihat manik mata Brian yang sama basahnya seperti dirinya.

"Lo berhak bilang kenapa-kenapa kalau sama gue, Gi. Lo berhak mengekspresikan itu." Kemudian Regina menatapnya heran. Menunggu kalimat lanjutan dari mulut Brian "now, you are mine." Ucapnya dan berdiri untuk menyeka air mata Regina dengan ibu jarinya. "Now, you are mine." Ulangnya sekali lagi, meyakinkan.

Chocolate🍫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang