"Mau nanya apa?"
"Ngapain rajin belajar masak?"godaku sambil meraih pinggangnya agar mendekat.
"Karena Kak Awa lebih suka makan di rumah. Aku nggak mungkin mengandalkan Mbak Warti terus."
"Ada tangan kamu yang keiris, nggak? Setahuku rendang itu bumbunya banyak." Tanyaku sambil meraih jemarinya seolah mencoba meneliti.
Kaia tampak menggeleng sambil tertawa lebar."Yang buat bumbunya belum aku. Cuma kebagian ngaduk tadi. Tapi lama banget ternyata matengnya."
"Nggak kepanasan di dapur?"
"Nggak terlalu sih, diajarin penggunaan apinya, dari yang tadinya besar sampai kecil."
"Aku senang kamu belajar. Kalau begitu mending sekalian kamu jadi istri Kak Awa, mau?"
Kaia tertegun, menatapku tak percaya.
"Menikah? Kak Awa yakin?"
"Jawab dulu kamu mau atau tidak?"
"Kakak serius?"
"Banget, kepingin kamu nggak usah pulang lagi kalau kita ketemu kayak gini. Bisa peluk-peluk kamu seperti ini setiap malam."
Wajah gadis itu kini bersemu merah namun akhirnya mengangguk. Birawa mengecup kening Kaia dengan lembut cukup lama. Kemudian menggandeng perempuan itu menuju ruang tengah.
"Sorry, aku bukan pria romantis yang melamar kekasihnya disaat makan malam."
"Sudah tahu dari dulu, jadi aku nggak akan kaget. Kak Awa ingat masih punya pacar saja aku sudah senang." Kali ini aku hanya bisa menggaruk kepala.
"Juga nggak pakai cincin."
"Kemarin sudah dibelikan, ini." balas Kaia sambil menunjukkan cincin pemberianku sambil tersenyum.
"Aku mau menyampaikan beberapa hal, anggaplah sebuah kesepakatan dari pihakku. Bisa kita bicara sekarang?"
Kaia kembali mengangguk dan kini posisinya berpindah, berbaring dipangkuanku. Sesuatu yang biasa ia lakukan saat kami bicara serius. Kugenggam erat jemarinya, karena sebenarnya aku juga tidak nyaman membicarakan ini. Meski disaat yang sama tidak ingin ia menjadi sengsara saat menikah denganku nanti.
"Aku ingin setelah menikah kita tinggal di rumahku. Meski kecil dan fasilitasnya tidak selengkap di rumah kamu. Tapi hanya ini yang aku punya. Aku tidak ingin kelak menjadi bahan pembicaraan orang, dan dianggap menumpang di rumah kamu.
Tapi kalau kamu rindu menginap disana, ya kita kesana. Hanya saja alamat tempat tinggal kita ya tetap disini. Sampai kelak aku sanggup membeli rumah yang lebih besar. Aku akan berusaha membuat kamu nyaman untuk hidup bersamaku."
"Apa nggak bisa kita nego sedikit? Kayaknya barang-barangku nggak akan muat kalau harus dipindah ke kamar Kak Awa."
Kejujurannya menyentakku. Ia benar!
"Ya bawa seperlunya saja kemari. Aku akan merenovasi kamar diatas sedikit supaya lebih besar. Tapi sesuai dengan budget-ku."
Akhirnya kulihat ia tersenyum dan mengangguk, meski tahu bahwa ini adalah keputusan yang cukup berat untuknya.
"Yang kedua, aku adalah anak sulung. Meski adik-adikku sudah besar. Mereka terbiasa dekat denganku, dan akan mencari kalau sedang butuh sesuatu atau ingin curhat. Kamu nggak boleh cemburu sama mereka. bersikaplah juga seperti seorang anak sulung, meski aku yang punya tanggung jawab itu. Kamu tidak akan pernah jadi nomor dua. Jadi tenang saja."
"Selama ini aku nggak pernah protes tentang itu. Asal Kak Awa ngomongnya jujur. Aku nggak masalah. Tapi jangan meninggalkanku berhari-hari karena itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TAK SELAMANYA INDAH / END
RomanceTentang cinta empat orang kakak beradik. Bagaimana cinta kadang pahit diawal. Namun manis diakhir. Atau kadang sebaliknya.