Reuni Bunda

26 1 0
                                    

"Kak, nanti mau ikut bunda acara reunian gak?" Tanya bundaku ketika sedang memasak di dapur.

Bundaku bernama Ilfa. Wanita pekerja keras itu sekarang sudah berumur 48 tahun. Meskipun sudah hampir kepala 5, tapi bunda Ilfa masih berjiwa muda dan hobi bersosialisasi. Berbeda sekali dengan aku yang suka kesunyian.

Hari ini adalah reunian akbar SMP bundaku dahulu. Disana pasti akan banyak tante dan om baru yang akan aku temui, kalau mengikut ajakan bunda. Hal itu tentu berbeda sekali dengan kepribadianku yang tak nyaman berada di keramaian.

Alasan bunda mengajakku ke reunian salah satunya untuk melatihku nyaman bergaul dengan orang banyak. Di umurku yang sudah tak lagi anak-anak, harusnya aku bisa lebih siap menghadapi dunia tanpa embel-embel introvert, menurut bundaku. Padahal sesungguhnya, manusia introvert akan lebih mampu menantang dunia dengan caranya sendiri.

"Enggak ah bun. Lagi males keluar." Jawabku seadanya.

"Ayoklah, Dit. Sekali-kali ikut bunda ketemu temen-temen. Siapa tau nanti bisa ketemu jodoh." Ucap bunda sambil tertawa.

"Berarti bunda mau jodohin aku dong sama anak temennya bunda?" Tanyaku sambil menatap tajam ke arah bunda Ilfa.

"Yaa enggaklah, sayang. Bunda ajakin kamu biar nambah temennya. Nanti bakalan banyak anak-anak temen bunda yang ikut. Dari semuanya, cuman bunda yang belum pernah ajakin anak reunian. Kayak gak punya anak aja." Suara bunda seperti menyiratkan kesedihan.

Aku merasa begitu bersalah sama bunda. Menjadi anak satu-satunya seperti banyak menyimpan harapan-harapan baru bagi kedua orangtuaku. Mintanya yang sederhana saja aku tolak, lalu bagaimana dengan ingin besarnya nanti? Aku takut mengecewakannya.

"Iyaa aku mau kok ikut bunda. Maaf yaa kalo selama ini aku sering nolak, Bun." Ucapku sambil memeluk bunda yang sedang menyuci piring.

****

Aku menghadiri acara reuni itu dengan baju senada dengan Bunda Ilfa. Tidak begitu memukau, tapi elegan dilihat banyak orang. Apalagi bundaku orangnya terlalu peduli dengan penampilan. Lagi-lagi berbanding terbalik dengan diriku yang terlalu apa adanya.

Ketika turun dari mobil, kami berdua disambut satpam hotel tempat acara reunian itu. Kami diarahkan menuju tempat terlaksananya ajang nostalgia mewah dari banyak pebisnis, politikus, abdi negara dan manusia sukses lainnya.

Sesuatu hal yang aku suka tentang reunian adalah cerita-cerita menakjubkan dari orang-orang hebat. Menjadi sukses tidak selalu orang kaya, menjadi berhasil tidak harus keturunan pejabat, menjadi milyader tidak hanya dari keluarga terpandang. Semua pemilik raga berhak untuk sukses dengan caranya sendiri.

"Hai. Apa kabar, Ilfa?" Sapa salah satu teman bunda yang tampak seperti ibu pejabat.

"Alhamdulillah kabar baik. Kamu sendiri gimana?" Balas bundaku.

"Sama, alhamdulillah juga baik. Ini satu-satunya permatamu yaa, Ilfa?" Tanya teman bunda yang bernama Tante Nana sambil menatapku.

"Kenalin aku Dita, Tante." Sambutku dengan menjabat tangan Tante Nana.

"Cantik sekali seperti ibunya." Puji Tante Nana sambil tersenyum manis.

Setelah itu bundaku lanjut menelusuri setiap sudut ruangan sambil melepas rindu dengan teman-teman lamanya. Aku hanya seperti pajangan yang dibawa kesana kemari oleh bundaku. Tidak nyaman sekali tentunya.

Demi menghapus rasa bosanku, aku minta izin sama bunda untuk ke rooftop hotel menepi sebentar. Aku perlu waraskan lagi pikiranku.

Aku berjalan menaiki tangga tanpa menggunakan lift. Dengan banyaknya aku menghabiskan waktu untuk berjalan, harapku nanti ketika turun ke bawah acara bunda sudah selesai.

Sesampainya di rooftop, aku ternyata tidak seorang diri. Aku melihat ada seorang laki-laki sedang menatap jauh pemandangan bangunan-bangunan tinggi itu. Aku takut berdiri berdekatan, lalu aku mengambil posisi begitu jauh darinya.

Sepertinya laki-laki itu tidak sadar, ada oranglain di sekitarnya. Dia melempar bebatuan kecil tanpa arah. Menurutku hati laki-laki itu sedang kalut. Aku semakin tidak ingin menampakkan diri kepadanya. Lalu aku berjalan lebih ke pojok lagi sampai tidak terlihat dari arahnya.

****

"Kak, reunian kemaren ternyata bunda punya temen sama-sama gak punya anak." Ucap bundaku sambil tertawa ketika menonton TV.

"Gak punya anak maksud bunda? Dia mandul?" Tanyaku polos.

"Yaa bukan, sayang. Maksudnya, temen bunda anaknya juga ngilang pas acara. Katanya juga main di rooftop hotel karena lagi bosen. Ketemu gak?"

"Anak temennya bunda cowok yah?" Tanyaku penasaran.

"Iya. Namanya Dimas kalo gak salah. Bundanya Tante Nana yang kenalan waktu itu sama kamu."

Dimas. Sebuah nama yang selalu melekat di hatiku. Tapi aku tidak boleh langsung terhenti sampai disana. Aku belum bisa pastikan Dimas kemarin itu siapa.

Dilihat dari postur tubuhnya, aku tidak merasa familiar sama sekali waktu itu. Tidak ada sesuatu yang membuatku penasaran dengan laki-laki itu.

"Bunda tau gak Dimas dulunya SMA dimana? Atau sekarang lagi kuliah dimana?"

"Gatau, Dit. Tante Nana itu gabung ke reunian juga baru-baru ini. Jadinya bunda belum terlalu kenal keluarganya."

Tapi aku masih ingin tahu lebih lanjut tentang Dimas anak Tante Nana ini. Aku ingin memastikan kalau laki-laki itu bukan Dimasku atau sebetulnya memang Dimas yang selama ini aku nanti.

"Tanyain kapan-kapan yaa bun. Siapa tahu aku satu sekolah sama anaknya Tante Nana itu, kan bisa jadi alesan ikut bunda reunian terus." Ucapku sambil memelas.

Bunda menyanggupi inginku sambil menunjukkan jari jempolnya.

****

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang