Komunikasi

4 0 0
                                    

Setelah pertemuan di hari itu, Dimas tiba-tiba menghubungiku melalui instagram. Kata-kata pertamanya setelah beberapa tahun yaitu "Assalamualaikum Dita. Apa kabar?"

Tentunya membaca itu membuat senyumku melebar dan jantungku seperti tak seirama.

Aku tak buru-buru ingin membalasnya. Aku tenangkan pikiran dan hatiku, lalu aku resapi kira-kira apa tujuannya menghubungiku.

Aku bahagia sekali Dimas yang selalu menjadi topik kesukaanku bersama Tuhan hadir mulai menampakkan dirinya. Tapi aku juga takut, Dimas kelak ikut menjadi barisan laki-laki yang menyakitiku. Sungguh masih belum bisa percaya sepenuhnya, meskipun hanya sebatas membalas pesan. Aku ragu akan menaruh perasaan lain, tak lagi baik seperti yang aku jaga selama ini.

Pikiranku memberi kode untuk tak terlalu lama hanya membaca pesan itu, lalu aku kirim "Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik."

Baru saja pesanku dilihat, lalu dia berkirim balasan lagi "Boleh aku datang ke rumah bareng Qiza buat ngobrol sama kamu?"

Nafasku tak beraturan. Aku tak menyangka membaca balasan itu. Kenapa secepat itu? Kenapa tak ada aba-aba? Aku seperti belum siap. Meskipun hanya untuk datang bertamu layaknya tamu yang lain.

Aku langsung menelpon Qiza dan tak perlu menunggu lama sudah terdengar suara lembut dari seberang sana.

"Assalamualaikum, Dit." Ucap Qiza memulai obrolan kami.

"Waalaikumussalam, Qi. Aku mau nanya, Dimas ada ngajak kamu dateng ke rumah aku ga?"

"Barusan dia telpon aku ngajakin main ke rumah kamu. Nih aku mau chat kamu, Dit. Ehh udah nelpon duluan"

"Aku malu ketemu sama dia. Aku belum siap, Qi." Ucapku memelas.

"Emang mau dilamar bilang belum siap? Dia pengen ketemu aja kali, Dit" Balas Qiza sambil tertawa lebar.

"Ah kamuu, aku belum siap aja ketemu. Malu ngobrol sama dia" Ucapku seperti melukiskan wajah cemberut di mata Qiza.

"Iyaa aku ngerti kok, Dit. Tadi cuman becanda aja. Nanti kan ada aku. Tenaang, aku kondisikan yaa." Jawab Qiza seperti meyakinkan aku.

Setelah konsultasi sama Qiza, aku membuka kembali percakapanku dengan Dimas lalu aku berkirim pesan "Iya, Boleh."

****

Jarum jam dinding di rumahku sudah berada tepat di angka 2. Seperti janji kemaren, Dimas dan Qiza akan datang pukul 2 siang. Aku sudah menunggu di ruang tamu sambil minum segelas air putih dingin untuk melegakan suasana hati.

Aku terlalu grogi akan bertemu dia. Sosok yang hanya aku kagumi dan pintakan kepada Tuhan, sebentar lagi akan bisa langsung menatap mata indahnya.

Sambil merapikan bergo hitamku, aku melihat Honda HR-V berwarna hitam berhenti tepat di depan rumahku. Sepertinya yang di tunggu sudah datang.

Dari kejauhan, aku melihat sosok Dimas yang begitu tampan layaknya laki-laki idamanku. Postur tubuh yang tinggi melampaui diriku, berkulit putih meskipun tak mampu menandingi putihnya kulitku, dan wajah yang meneduhkan. Sungguh indah sekali, makin jauh berbeda dibanding kala SMA dulu.

"Assalamualaikum" Ucap Dimas di depan pintu yang langsung aku balas dengan "Waalaikumussalam".

Mereka dipersilahkan masuk dan kemudian Dimas duduk tepat di depanku dan Qiza di sampingku.

Takut akan adanya kecanggungan antara kami, aku langsung mengajak keduanya untuk minum dan mencicipi kue di rumahku.

Sambil membuka tutup toples kue, Dimas dan Qiza mulai membuka pembicaraan antara kami.

"Sejak kapan mulai punya buku sendiri, Dit?" Tanya Dimas seperti membiusku dengan suara lembutnya.

"Belum lama sih, baru 1 tahun terakhir" Jawabku berusaha tenang.

"Masyaallah, keren dong Dit. Baru setaun udah booming bukunya" Ucap Dimas memujiku.

"Bisa aja kamu, masih orang deket kok pembacanya. Kemaren aku ikut acara itu karena emang diajakin sama kerabatku aja" Ucapku membantah pujiannya.

"Aku udah baca cerita kamu di novel Dalam Diam Kita Bertemu. Semoga Allah hadirkan nyata dibalik imaginasi kamu kelak ya" Sebuah doa terdengar dari orang yang langganan aku doakan.

****

Dalam Diam Kita BertemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang