Bagian 306 (Calon Mertua?)

763 147 42
                                    

.

.

"Baru tahu aku gombal?"


.

.

***

Mereka bertiga sudah di teras depan, mengantar kepergian pria yang sebulan lagi akan menjadi bagian dari keluarga mereka, insyaallah.

Langit cerah menampakkan kerlip bintang, melengkapi suasana bahagia ketiganya. Meski Yoga akan lebih bahagia sebenarnya jika dia melamar Erika malam ini juga. Dia agak cemas dengan penundaan ini, entah kenapa.

"Maaf, aku tidak menyangka ibuku malah mau renovasi rumah segala. Jadi acara lamarannya ditunda sebulan lagi deh," ucap Erika lesu. Wanita itu juga sama seperti Yoga, merasa lebih senang kalau lamaran tidak ditunda-tunda. Ada-ada saja ibu, benaknya berujar.

Yoga tersenyum menenangkan calon istrinya. "Enggak apa-apa kok. Sebulan insyaallah gak lama. Mungkin memang akunya yang terlalu terburu-buru, jadi wajar kalau keluargamu agak kaget."

Erika tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh iya. Aku lupa bawakan puding di kulkas!" katanya dengan kelopak mata melebar.

"Puding? Kamu bikin puding juga?" tanya Yoga.

"Iya. Sebentar ya kuambilkan. Tunggu sebentar!" Erika sudah berlari ke dalam rumah.

Yoga kini berdua saja dengan Yunan. Anak ABG itu senyum-senyum di kulum.

"Sudah happy kamu sekarang, bocah?" tanya Yoga santai.

Yunan nyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "He he. Iya aku senang. Walaupun sebenarnya aku lebih senang kalau lamarannya hari ini. Tapi setidaknya sudah ada pernyataan dari om ke mbahku."

Yoga tersenyum lembut dan mengusap kepala Yunan. "Mulai Senin, berhenti bekerja di Brunchicken. Aku yang akan urus sisa kontrakmu. Aku tidak mau dengar alasan apa-apa lagi. Mengerti?"

Yunan tercenung sesaat. Tiba-tiba momen selama bekerja sambilan di resto itu bagai adegan film yang berputar cepat dalam ingatannya. Namun saat ini, dia tidak cemas lagi. Sebab Yoga sudah bicara secara resmi dengan mbahnya, meski baru melalui sambungan telepon.

"Oke siap. Insyaallah Senin aku bicara pada bosku," jawab Yunan sambil memberi hormat. Membuat Yoga tersenyum makin lebar dan mengacak rambutnya.

Erika muncul di muka pintu membawakan kotak berisi puding. "Ini pudingnya, sayang. Kumasukkan ke bungkusannya ya."

"Makasih sa- ... " Yoga menutup mulutnya segera. Erika menatapnya heran, sementara Yunan cekikikan.

"Aku masuk ke dalam dulu, om, bu," kata Yunan pamit dengan jari menunjuk ke pintu masuk.

Yoga tersipu. Paham kalau anak itu sedang memberinya ruang dengan Erika. Namun persis sebelum memasuki pintu yang terbuka, Yunan menoleh ke belakang, memberinya tatapan tajam. Yoga bergumam dalam hati,

Iya iya tahu. Gak bakal ngapa-ngapain. Belum halal. Belum halal.

Yunan masuk ke dalam rumah, namun sengaja membiarkan pintu depan terbuka, agar teras lebih terang dari yang seharusnya. Sebab temaram memberi nuansa keintiman. Siapapun tahu itu.

"Seharusnya kamu tidak perlu repot membuatkanku macam-macam. Nanti kamu kecapean," kata Yoga lembut.

Erika menjawab dengan rona merah di pipinya, "Gak repot kalo buat kamu kok."

Yoga menatap calon istrinya dengan menahan debaran di relung dada. "Besok insyaallah aku jemput kamu setelah salat Maghrib di rumah. Ayahku sudah kuberitahu. Dia senang sekali akan bertemu denganmu dan anak-anak."

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang