Bagian 310 (Calon Mertua?)

933 135 33
                                    

.

.

Penghulu mana penghulu.

.

.

***

Cahaya lilin berdiri anggun menerangi jamuan makan malam yang sangat istimewa hari ini di kediaman Danadyaksa. Setelah saling berinteraksi, melempar senyum menjadi hal yang biasa di antara mereka. Terutama bagi sepasang kekasih yang dimabuk asmara, kemesraan tanpa kontak fisik semacam ini sulit untuk dielakkan.

Yoga berusaha tidak main mata pada calon istrinya, namun tetap gagal. Tiap kali pandangannya bertemu dengan Erika, keduanya saling tersenyum, lalu tertunduk malu. Membuat Yunan merasa gemas, ingin rasanya menyeret keduanya ke penghulu malam ini juga. Sebenarnya dia pun tak habis pikir, kenapa Yoga setuju saja dengan ide aneh mbah putrinya untuk menunda rencana pernikahan yang mulia demi renovasi rumah. Sebulan itu cukup lama bagi pasangan yang sudah tidak tahan ingin hidup bersama. Rasa tidak enak pada calon mertua, mungkin, adalah penyebab Yoga melunak, menahan diri untuk protes pada keluarga Erika.

Yunan kembali fokus pada makanannya. Garpu dan pisau yang mengkilap, terdengar beradu dengan piring keramik putih. Muka Yunan tampak serius. Sulit makan dengan cara ini. Dulu di pesantren, saat jam makan, para santri berkumpul mengitari nampan-nampan yang dijejerkan di lantai. Di atas nampan terhidang nasi, sayur tumisan a la kadarnya, dan lauk yang berganti tiap hari. Kadang tempe-tahu, kadang ayam goreng. Satu nampan dibatasi dua potong ayam saja, dimakan berkelompok oleh sekitar empat orang. Bukan karena pesantren tidak mampu memberi mereka makanan mewah, tapi untuk melatih para santri dalam kesederhanaan dan kebersamaan. Kebiasaan mandiri bukan hal baru bagi Yunan yang sebelumnya pernah merasakan hidup sendiri selepas ditinggal orang tuanya. Saat di pesantren, nasi, lauk dan sayur dimasak oleh para santri sendiri. Bergotong-royong sesuai piket. Ada yang tugasnya memotong-motong bahan masakan, ada yang stand by masak di depan penggorengan, dan ada yang mencuci piring. Para santri makan bersama, lesehan di lantai. Makan hanya menggunakan tangan tanpa sendok-garpu.

Namun jika berada di rumah Erika, sendok-garpu menjadi wajar digunakan, kecuali jika mereka menyantap lalapan, biasanya makan langsung dengan tangan. Dan begitu masuk ke rumah Yoga, selain sendok-garpu, ada pisau.

Klak! suara pisau bertemu dengan piring Yunan, kali ini terdengar lebih nyaring saat akan memisahkan udang dari selaputnya. Ups ... gumam Yunan dalam hati.

"Mau ibu potongin?" tanya Erika, sontak membuat Yunan menggelengkan kepala cepat. "E-eh ... tidak usah bu. Aku bisa sendiri kok." Tentu saja dia tidak mau terlihat seperti Raesha yang makannya diurusi.

"Yunan, kalau potongnya susah, pakai tangan saja," komentar Yoga tiba-tiba.

"O-oh? Boleh pakai tangan?" Yunan bertanya balik.

Dana tetiba menimpali, "Boleh dooong. Prosesi resmi begini 'kan cuma politik mercu suar saja. Biar kelihatan keren di depan tamu, gitu loch. Kalau makannya susah ya ujung-ujungnya biasanya pakai tangan juga sih."

Yunan tersenyum simpul. Politik mercu suar, kata calon Eyang Kakungnya. "Ya sudah. Kalau begitu, aku izin pakai tangan ya," ucap Yunan sopan. Anak itu meletakkan sendok, garpu, pisau di meja.

Yoga tiba-tiba melakukan hal serupa. Dia meletakkan sendok-garpu dan pisaunya di samping piring. "Kalau begitu, aku juga makan pakai tangan saja," katanya enteng.

Semua melihat kaget ke arah Yoga.

"Em ... kalau begitu, aku juga. Kita makan pakai tangan saja ya Rae," ajak Erika pada putrinya yang sedang dipangku.

Dana bengong. " ... kalau begitu, aku juga pakai tangan saja!" ujarnya turut bergabung dalam geng makan pakai tangan.

Yunan meringis. "E-eh ... kenapa pada pakai tangan semua?" tanya remaja itu dengan rasa bersalah.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang