Bagian 349 (Akad Yang Tertunda)

464 111 25
                                    

.

.

Sementara dengan Erika, aku sudah mengalami ... banyak hal emosional, yang tentunya tak bisa kubandingkan dengan pengalamanku bersama wanita selain dia.

.

.

***

Kedua tangan Gito tengadah ke langit siang hari itu, sehari setelah Yoga membereskan mediasi pelunasan utang keluarga Farah.

"Alhamdulillah ya Allah. Engkau telah berikan hidayah-Mu pada temanku yang aneh ini. Memang do'a orang yang teraniaya, sungguh makbul," ucap Gito penuh syukur. Beberapa pengunjung kafe teras melirik heran ke arahnya, namun Gito tak peduli.

Yoga menatapnya kesal. "Memangnya siapa yang aniaya kamu?"

Gito menghela napas lega, menyesap kopinya sedikit, mengabaikan pertanyaan Yoga. "Apa yang membuatmu tersadar dari kebodohanmu, wahai sobatku?" tanya Gito tanpa diayak pemilihan katanya.

Yoga menjawab setelah melengos mendengar sebutan 'bodoh' yang sebenarnya memang dia rasa layak disematkan padanya. "Ada beberapa hal, sebenarnya. Tapi yang paling jelas adalah, ketika lintah darah sekaligus gembong preman itu tunduk dan menurut padaku. Tiba-tiba saja, aku merasa itu bukan karena kehebatanku. Saat itu aku hanyalah alat untuk mengeluarkan Farah dan Ibunya dari permasalahan utang mereka, dan juga melepaskan Farah dari pria bernama Baron itu. Aku jadi merasa, seandainya aku malah menikahi Farah, itu artinya aku memanfaatkan situasi itu. Situasi yang seolah-olah menjadikanku sebagai pahlawan baginya. Dan aku tidak suka itu."

Gito manggut-manggut.

"Sejujurnya, Farah memang mampu memikatku. Aku tidak pernah merasakannya sebelumnya. Apa istilahnya? ... jatuh cinta pada pandangan pertama? Tadinya kupikir, itu hanya ada di film saja. Tapi ... aku curiga pada diriku sendiri. Mungkin itu hanya napsuku yang tertarik pada fisiknya. Sementara dengan Erika, aku sudah mengalami ... banyak hal emosional, yang tentunya tak bisa kubandingkan dengan pengalamanku bersama wanita selain dia," jelas Yoga sebelum meneguk air mineral di depannya.

Gito memerhatikan Yoga dengan saksama. Tak disangkanya, gadis bernama Farah itu memberi kesan demikian dahsyat pada Yoga. Love at first sight, katanya tadi.

"Bukan karena dia masih gadis, dan Erika janda?" ceplos Gito tiba-tiba.

Yoga menatapnya nyalang. "Minta disiram ya?" ancamnya, bersiap dengan segelas air di tangan. Gito tertawa.

"Jelas bukan. Tapi jujur, aku sempat berpikir, mungkin kehidupan percintaanku akan jauh lebih simpel, jika aku memilih Farah. Dia single, dan menurut Ibunya, dia bahkan belum pernah pacaran sekali pun. Tapi ... aku tidak bisa membayangkan jika aku kehilangan Erika. Lagi. Setelah dulu aku pernah kehilangannya. Sakitnya masih terasa tiap kali membayangkan momen itu, saat aku melihat undangan pernikahannya dan ... ," ucap Yoga lirih di akhir kalimat.

Gito melengos. "You tell me. Memangnya kamu pikir siapa yang menjinakkanmu waktu kamu mengamuk seperti orang kesurupan?"

Yoga tersenyum. "Ya. Kamu memang berbakat jadi pawang orang kesurupan." Gito manyun.

"Aku jadi penasaran. Seperti apa dia? Maksudku, Farah. Secantik apa? Cantik mana sama Erika?" pancing Gito dengan lirikan penuh kekepoan.

Yoga salah tingkah. "Kamu ini. Pakai tanya begitu segala. Dua-duanya cantik. Gak perlu dibahas cantikan siapa."

Gito nyengir nakal. "Ah ... cantikan Farah, 'kan?"

Yoga berdecih. "Masing-masing punya sisi cantiknya sendiri. Hanya saja, Farah lebih muda darinya. Itu saja."

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang