Bagian 256 (Waspada Tikungan)

748 162 37
                                    

.
.

Kalau ada pemilihan manusia paling enggak peka, aku menominasikan kamu jadi juara satu.

.
.

***

Suasana masih tegang di antara mereka. Erika, Mario dan sebuah kotak hitam berisi cincin berlian.
Pandangan Erika masih lekat tertuju pada cincin itu. Dia menelan ludah susah payah. Apa ini sungguhan? Mario melamarnya??

"K-kamu serius, Mario?," pertanyaan pertama Erika setelah berhasil pulih dari syoknya.

Pria berkulit putih itu mengangguk mantap. "Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?," pertanyaan yang tak perlu dijawab. Sebab selama sekantor bertahun-tahun dengan Mario, belum pernah Erika melihat Mario se-serius ini.

Erika mengembuskan napas yang sedari tadi refleks ditahannya. "Ya ampun Mario ... aku enggak pernah tahu kalau kamu serius ... "

"Suka sama kamu?," tebak Mario melengkapi kalimat Erika yang menggantung. "Kurasa, kamunya saja yang enggak peka. Kalau ada pemilihan manusia paling enggak peka, aku menominasikan kamu jadi juara satu."

Erika meringis sedikit. Dia sedang tidak bisa bercanda saat ini. Situasi ini tak pernah disangkanya akan terjadi.

"Sejak kapan?," tanya Erika sambil menopang keningnya, menahan pusing.

"Sejak kapan aku menyukaimu?," Mario seolah memastikan pertanyaan Erika yang lagi-lagi tidak lengkap kalimatnya. Erika mengangguk pelan. Wajahnya kini tersipu malu. Walaupun dia sudah bukan anak remaja, tapi mendengar seorang pria menyatakan perasaan padanya, tentunya sedikit banyak akan memberi efek di dalam dirinya.

Mario tersenyum. "Kamu pasti sudah lupa kejadiannya. Aku masih dalam masa training-ku saat itu."

Erika melotot. "Training?? Itu sudah lama sekali!"

Mario menghela napas, menatap Erika dengan tatapan malas. "Memang selama itulah kamu lemot!"

Tudingan 'lemot' yang berdasar itu tepat sasaran. Erika kembali meringis. Selama ini teman-teman kantornya selalu menggodanya bahwa Mario naksir dia, tapi tak pernah dianggapnya serius. Dipikirnya mereka cuma cari-cari bahan gosip saja. Ternyata ...

Mario kembali tersenyum, kali ini diiringi tatapan lembut. "Kamu masih ingat? Dulu kamu senior yang ditugaskan untuk membimbingku. Lalu saat pembuatan laporan akhir tahun, aku membuat kesalahan input data. Kesalahan itu cukup fatal. Aku baru akan mengaku salah, tapi kemudian ... "

Kelopak mata Erika membesar. Teringat akan peristiwa itu. Erika berdiri menghadap bosnya. Mario yang masih anak baru kala itu, berdiri di belakangnya.

.

"Itu kesalahan saya, Pak. Maafkan saya," kata Erika saat itu, setengah membungkuk.

Bosnya memarahinya dengan suara melengking saking kesalnya. "Bagaimana kamu bisa membuat kesalahan mendasar seperti itu?? Laporan kemarin sudah sampai di meja Direksi!! Ini memalukan sekali! Cepat perbaiki!!"

Mario merangsek maju. "B-bukan. Saya yang ... ." Belum tuntas kalimatnya, Erika memberi isyarat tangan, agar Mario diam saja. Pria itu terpaksa menurut.

"Baik. Segera saya perbaiki, Pak," jawab Erika.

Saat mereka keluar ruangan, Erika bicara padanya, "Kalau sampai mereka tahu yang bikin error adalah orang baru, biasanya dipecat tanpa ampun. Jadi tutup mulutmu rapat-rapat. Jangan sampai orang lain tahu. Mengerti?," Erika terdengar memerintah dengan suara tegas.

Wanita itu kemudian melengos pergi sambil membawa segepok laporan. "Makanya lain kali hati-hati. Mikir apaan sih? Pacar? Cits ... ," omelannya terus berlangsung hingga larut malam. Mereka bergadang merevisi laporan.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang