Bagian 365 (Pindah?)

465 123 35
                                    

.

.

Segala tangis dan tawa, adalah pelajaran yang hanya bisa bermanfaat jika direnungkan bersama hikmah.

.

.

***

Yunan dan Erika duduk berhadapan di ruang tamu. Keduanya berwajah serius.

Raesha sudah dininabobokan sepuluh menit yang lalu. Sengaja agar tidak mengganggu percakapan yang sangat krusial ini.

Berlembar-lembar surat tagihan dan dua buku rekening, terpampang di meja. Salah satunya sedang diamati oleh Yunan dengan alis berkerut hebat.

Dia memang sudah menyangka keuangan keluarga mereka tengah bermasalah, tapi ia tak menduga bahwa alih-alih bermasalah, lebih tepat dikatakan bahwa keuangan keluarga mereka berada di ujung tanduk.

Alis Yunan terangkat saat menengadah menatap ibunya.

"Tidak ada tabungan yang lain?" tanya remaja itu memastikan.

Erika menggelengkan kepala. "Tidak ada."

"Berarti ... satu-satunya cara adalah, kita gunakan dulu tabungan pendidikan Raesha," usul Yunan dengan berat hati.

Erika kembali menggeleng. "Tidak. Ibu sudah janji pada almarhum Ayahmu, tidak akan mengutak-ngutik tabungan itu, apa pun yang terjadi."

Yunan mengernyitkan dahi. Sejujurnya, ia tak begitu setuju dengan pendapat itu. Kondisinya saat ini genting. Sekiranya Farhan masih hidup, pria itu mungkin akan berubah pikiran. Tapi Yunan diam saja, menyimpan protesnya sendiri.

Yunan menghela napas berat. "Mestinya aku tidak berhenti kerja."

Erika melotot. "Kerja? Kerja apa?"

Yunan menutup mulut. Kelepasan. "Ah ... maaf, Bu. Sebenarnya, aku sempat kerja tiga bulan di restoran cepat saji. Tapi karena Om Yoga memintaku berhenti, aku berenti dari sana. Padahal lumayan gajinya bisa untuk bantu nambah-nambah penghasilan keluarga kita."

"Ya Allah, Yunaaan! Ini pasti yang dulu itu, ya? Waktu kamu sering bawa pulang ayam goreng, 'kan?" tebak Erika.

"I-Iya, Bu," sahut Yunan nyengir.

"Kamu gak perlu kerja selama kamu masih sekolah, Nak. Ibu gak ikhlas kalau kamu sampai kelelahan, memaksakan diri kerja dan sekolah sekaligus. Awas ya! Ibu gak mau kamu kayak gitu lagi, pokoknya," ancam Erika cemberut.

"Ya, Bu. Kalau untuk uang jajan dan ongkosku, Ibu tidak perlu khawatir. Aku ada penghasilan sebagai asistem guruku di sekolah. Tapi ... aku sungguh tidak tahu solusi untuk permasalahan keuangan kita yang pelik ini. Maaf, aku tidak bisa bantu apa-apa," ucap Yunan lesu. Ia ingin segera dewasa dan bekerja, rasanya.

"Itu yang ingin Ibu bahas denganmu. Tadi di kantor, ... " Erika menceritakan percakapannya dengan teman kantornya siang tadi. Lalu ...

"Jual rumah?" tanya Yunan dengan ekspresi terkejut.

"Ya. Ibu pikir ... ini mungkin jalan keluarnya, supaya bisa terbebas dari utang, lalu membayar biaya perbaikan mobil yang lumayan mencekik itu. Bagaimana menurutmu? Di rumah ini, kamu satu-satunya laki-laki. Ibu mau, kamu yang ambil keputusan."

Yunan terdiam berpikir. "Ibu ingin aku mengambil keputusan?" tanyanya seolah khawatir salah dengar.

Erika mengangguk. "Ya. Ibu percaya pada pertimbanganmu."

Hening sesaat.

Keputusan diambil oleh Yunan. Rumah akan dijual, lalu mereka mengontrak di pinggiran ibukota, mobil yang sudah mulai rewel itu ditukartambah dengan mobil lain. Mempertahankan mobil itu, bukanlah pilihan yang bijak, sebab berpotensi menguras biaya untuk perawatannya.

ANXI 2 (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang