Arman menungguku di depan gedung yang besar itu, ia mengenakan kaos hitam dengan rambut ikal yang dikuncir ke belakang, ripped jeans, sneakers Adidas berwarna putih. Arman melihatku dengan senang, tersenyum bahagia, aku juga begitu, setelah lama kami tidak berjumpa, rindu itu pasti ada.
"Kalau boleh gue peluk lo, gue bakalan peluk. Gue kangen banget ama lo!" katanya sambil tersenyum.
"Peluklah," kataku menantangnya.
Ia langsung memasang muka manyun, aku tau dia pasti akan enggan untuk melakukan hal itu. Aku sengaja memakai kemeja berlengan panjang berbahan ceruti berwarna hitam, kulot jeans dan jilbab segi empat berwarna mocca, sengaja biar ia menarik lengan baju untuk menuntunku berjalan.
Mungkin bagi kalian itu aneh, tapi bagiku kebiasaan kecil itu sangat bermakna, hal-hal kecil yang selalu membuatku merindukannya, hal-hal kecil yang membuatku dihargai, hal-hal kecil yang membuatku merasa dicintai.
Sampai pada satu waktu aku melihatnya, berdiri disampingku, dan sedih, takut semua ini akan berakhir, takut ia akan pergi lagi dariku, takut aku tak akan bisa berdiri lagi seperti ini disampingnya. Tanpa sadar aku menggenggam lengan tangannya, ia tersadar dan memandangku, aku Sandakan kepadaku yang setara dengan lengannya, ia diam seperti mepersialakan dan kami berdua berlarut hanyut dalam suasana itu.
Rasanya aku ingin membekukan waktu, menikmati masa itu lebih lama dari waktu yang berjalan. Aku ingin bersama dengannya, dari dulu aku ingin bersama dengannya, namun waktu dan keadaan selalu tak pernah memihak kepadaku. Kalau memikirkan ego sendiri, aku benar-benar tak bersalah atas rasa yang datang tiba-tiba yang membuatku begitu merasakan perasaan yang dalam, untuk setiap kedatangan dan kehilangan dirinya berkali-kali. Kalau memikirkan ego sendiri ingin rasanya aku berteriak dan bilang ke seluruh dunia, aku ingin Arman.
Tapi itu semua hanya kalau aku memikirkan egoku sendiri, faktanya aku sudah dilamar orang lain, dan cincin sebagai tanda itu telah melingkar di jari manisku. Aku sudah lelah menunggu waktu yang seperti enggan memihak kepada rasa ini, aku lelah menunggu, dan aku ingin di miliki, di sayang dengan pasti.
Detik demi detik waktu aku nikmati, sampai akhirnya benar-benar berlalu. Aku sudah berjanji dengan Will, dia akan menjemputku. Setelah konser selesai, aku bilang padanya, aku tak bisa pergi pulang dengannya besok pagi. Aku harus pulang malam ini, dan aku sudah dijemput orang lain.
"Siapa?" tanyanya datar.
"Pacarku."
"Kata lo, lo nggak mau pacaran."
"Lebih tepatnya dia tunangan gue." Aku mengangkat tangan dan mempersilahkan ia melihat satu-satunya cincin yang melingkar di jariku.
"Oh... Oke. Hati-hati." Arman menyerahkan tasku yang ia pegang, jalan tanpa pamit pergi.
Hatiku terisak sedih, dan pada akhirnya yang aku cemaskan terjadi, waktu berlalu dan kami berpisah. Aku melihat pundak itu, berjalan kikuk dengan menunduk. Sementara aku tetap berdiri diam, membeku diantara ribuan orang yang berlalu-lalang, ia akhirnya hilang dari pandangan.
"Ayo kita pulang. Dari tadi aku nyariin kamu." Kata seseorang itu. Seseorang yang datang dalam kesesatanku memahami perasaanku sendiri.
Dengan kantuk yang berat, Will mengemudikan mobil itu dengan kecepatan tinggi. Aku tau, ia juga telah banyak berjuang untukku.
-.-
Beberapa bulan setelah itu, sebuah gambar beredar di group SMA. Gambar berisi undangan pernikahan Rendi, ya Rendi. Rendi yang setelah tamat kuliah bekerja di Makassar dan bertemu dengan jodohnya disana. Resepsi akan diadakan di kota kecil itu, kota asalku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BBF (best friendzone forever)
RomanceSemua bermula saat Jasmine seorang gadis cerewet di pertemukan dengan Arman cowok super care nan humoris yang sering jadi bahan bully-an teman-temannya pada masa SMA nan indah. Cerita tentang menyukai sahabat sendiri selalu jadi cerita yang menyenan...