Dan kita kembali kemasa sekarang, melihat Arman dengan jas hitam, dan aku dengan gaun putih ku, menyalami semua tamu undangan yang hadir. Merasa seakan tak percaya, setelah semua cerita panjang yang kami jalani bertahun-tahun itu, akhirnya aku tau ending-nya bakalan seperti apa, bahagia mungkin, karena aku dan Arman sama-sama bahagia sekarang... telah bahagia sekarang.
Ia memandangku dengan tulus, sudah lama rasanya aku tak melihat pandangan setulus itu, ia tersenyum kepada setiap tamu undangan yang hadir dan aku bintang utama dalam acara ini. Setelah acara berakhir, Aku duduk di bangku tamu VIP, mendengar celotehan seseorang yang tak setuju bahwa bangku tamu VIP itu ada dalam acara ini.
"Udah deh please, udah kelar juga acaranya." kataku kepada seseorang itu.
Kemudian Arman datang menggendong anak kecil perempuan yang cantik, usia 18 bulan, usia segitu memang lagi imut-imutnya.
"Ini Nadia, salim sama tante Jasmine, cantik." Kata Arman kepada anak kecil itu.
"Mirip Mbak banget ya Man." Kataku.
"Syukurlah nggak mirip bapaknya." jawabnya.
Tiba-tiba handphone yang ada di dekatku berbunyi.
"Aku ada panggilan mendadak nih harus kerumah sakit, ada kecelakaan."
"Emangnya harus banget ya sekarang?" Tanyaku.
"Kan kamu tau, dokter spesialis di daerah ini gak banyak, dan di rumah sakit tempat aku kerja, spesialis yg aku tangani itu hanya aku sendiri yang bisa handle."
"Iya deh Fer." Jawabku dan mencium tangannya.
"Tunggu aku di rumah, besok pagi aku udah pulang." kemudian ia pergi berlari tergesa-gesa sebagaimana kebiasaannya jika dapat panggilan mendadak.
"Udah jadi suami masih aja panggil nama." Kata Aca sambil mengelus perut buncitnya.
"Jadi gue harus manggil dia apa? Tiang listrik?" Tanyaku.
"Bener juga ya, julukannya waktu SMA kan tiang listrik." Kata Arman.
"Panggil sayang kek, baby kek, Ayah Bunda kek." Kata Rendi ikut nimbrung.
"Eh orang jauh dateng juga." Kataku.
"Kurang ajar lo! Kaki gue udah pegel berdiri, nggak percaya tanya Arman, kita menyalami tamu di pintu masuk lo ga ngeliat? Parah lo! Lagian tamu lo banyak amat sih."
"Iya tuh si Ferdi, kenalannya banyak banget." Kataku.
"Nadia..."
Seseorang menghampiri kami, ia Mbak Aisyah, Ibu dari Nadia, Istri Arman.
Mbak Aisyah orang yang aku kenal dari kecil, Mbak Aisyah orang pertama yang ngenalin aku tentang Jogja, Mbak Aisyah orang yang memelukku dengan bahagia di rumah Arman di Bandung, itu Mbak Aisyah, Mbak Aisyah orangnya.
"Mas pulang yuk, Nadia udah ngantuk nih. Neneknya juga udah nunggu di parkiran." Kata Mbak Aisyah kepada Arman.
"Udah Man, lo pulang aja." Kata Aca.
Dengan muka bersalah Arman memandangku, aku tersenyum seolah berkata tidak apa. Dan Arman pergi, dengan menggendong anak kecil yang matanya sudah mulai sayu, menyandarkan kepalanya pada bahu Arman, dan merangkul seorang perempuan yang kini menjadi istrinya. Arman kini adalah seorang Ayah, menurutku Arman ayah yang baik, walaupun kini ia jauh di Jerman sana, tak jarang ia menelponku hanya sekedar menanyakan kabar. Aku bisa merasakan, walaupun jauh dan ia sudah jadi milik orang lain, ia tetap ingin menjagaku.
Arman jugalah menyuruhku untuk hadir ke pengajian 100 hari meninggalnya Ibu Ferdi, mewakilkan dirinya, pintanya. Lalu aku datang ke pengajian itu, melihat Ferdi duduk dengan mata yang sembab di ruang keluarga, menyendiri. Dan dari situlah semuanya dimulai, Arman menyarankan Ibuku untuk berobat kepada Ferdi, di rumah sakit tempat Ferdi bekerja. Ia selalu bilang padaku "Kenapa lo gak sama Ferdi aja?" Berulang-ulang kali. Berulang-ulang kali juga aku bilang padanya, "Bukan berarti kalau kalian semuanya udah nikah, kalian bisa seenaknya nyomblangin gue kaya gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
BBF (best friendzone forever)
RomanceSemua bermula saat Jasmine seorang gadis cerewet di pertemukan dengan Arman cowok super care nan humoris yang sering jadi bahan bully-an teman-temannya pada masa SMA nan indah. Cerita tentang menyukai sahabat sendiri selalu jadi cerita yang menyenan...