PGC: Asa di Ambang Duka

568 101 161
                                    

Bagian 1

Babagan pilu yang menuai risau pada si raga yang menanggung luka.

—Babagan pilu yang menuai risau pada si raga yang menanggung luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Real photo © by @/oeymaher)

Selamat Membaca!

🍂

Bengkulu, 1615.
Di satu malam paling kelabu negeri itu.

Semesta, ada yang tengah berduka. Senandung dalam ruangan itu silih berganti, laksamana kuda belari disusul rintik milik sang pertiwi. Sejuta tanya pun mulai menawarkan diri, bisakah ia bersanding seorang diri?

“Ayah...” lirihan itu penuh lara. Hanya menyebut satu asma dapat meruntuhkan satu daksa. Sang Putri sematawayang sudah tak kuasa menahan pilu. Tungkai melemah, napas menyesakan dada, kesadaran sedikit lagi membuat ia tumbang.

Tak henti ia melirih pada sosok kaku yang terbaring di atas ranjang. Lirihan itu begitu pedih, terdengar seperti senandung malam larut penuh duka.

“Jangan pergi, Cempaka mohon...”

Enggan sejujurnya melafalkan dua kata itu. Namun, bagaimana pun jua, hatinya memang menginginkan agar sang atma milik raga tak benar-benar pergi meninggalkannya. Fakta pahit yang berhadapan dengannya kini, layaknya ribuan anak panah yang menusuk relung hati. Membuat ia bertemu pada luka yang menyayat dan meninggalkan lubang kosong dalam hatinya sekejap. Begitu menyakitkan. Sungguh, kepergian seorang Ayah benar-benar meninggalkan pilu.

“Ayah... bangunlah, buka matamu.”

Terdengar mustahil. Karena suatu penyakit membuat kesehatan sang Ayah semakin hari kian memburuk. Meskipun dukun dan tabib sempat mengatakan kalau kondisi beliau sehat. Namun, sang Ayah, Baginda Raja Ratu Agung-lah yang paling mengetahui jiwa dan raganya.

Hasta milik sang putri perlahan mengusap pipi tirus milik sang Ayah. Nampak jelas kerutan di wajahnya. Wajah yang selalu menampilkan sisi kebijaksanaan dan jua ketegasan. Menggambarkan bahwa ia adalah sosok pemimpin yang disegani. Sang Ayah adalah raja dari kerajaan Sungai Serut yang terkenal adil dan begitu dicintai rakyat.

Namun, beribu sayang, pada malam Ahad kelabu, sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya.

“Ayah...” tak henti Tzuyu melirihkan panggilan itu. Hasta hangatnya beralih menggenggam tangan yang dulunya kekar—kini hanya menyisakan daging tipis—milik yang terbaring. Menggenggam penuh ketakutan, hingga jemarinya bertaut pada tangan kaku itu, mengecupnya sekali, lalu menempelkan punggung tangan pada permukaan pipinya. “Tanganmu kenapa dingin sekali, Ayah? Tak hangat seperti biasanya.”

30 Days With FolkloreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang