GS | New Member, New Life

330 80 22
                                    

Akan banyak perubahan dalam hidup.
Kupikir semua akan baik-baik saja, tapi itu semua hanya inginku.

...

"Ibu akan menikah lagi.”

Kalimat itu sungguh mengganggu pikiran Juwita. Berulang kali kata-kata Ibunya tadi malam berputar bak kaset rusak. Ibunya bilang dia akan menikah lagi. Itu artinya Juwita akan memiliki seorang—yang akan dipanggilnya—Ayah, sosok yang selama ini Juwita idam-idamkan.

Ditinggal meninggal sang Ayah sejak berumur lima bulan, membuat Juwita sama sekali tak memiliki memori dengan Ayahnya. Di usia yang seharusnya bisa bermain dengan Ayah pun, Juwita hanya bisa mengharapkan itu tanpa pernah bisa menjadi nyata. Meski begitu, seperti kata orang, Ayah adalah sosok cinta pertama anak perempuannya. Tapi benar, sekalipun tak lagi hidup bersama dengan Ayahnya, bagi Juwita, mediang Ayahnya tetaplah cinta pertama.

Juwita senang jika Ibunya menikah lagi. Sang Ibu berhak menjemput kebahagiaannya. Selama ini Ratna—ibu Juwita—menghidupinya sendirian, tanpa pasangan. Juwita rasa memang sudah seharusnya Ibu menikah lagi. Beliau berhak menikmati masa tuanya dengan indah dan penuh cinta.

“Aku akan mempunyai Ayah Tiri kalau begitu,” gumam Juwita sambil menatap riak air dari tepi sungai.

Ayah Tiri. Terdengar mengerikan bagi segelintir orang. Termasuk oleh Juwita. Itu yang sebenarnya sejak tadi dia pikirkan. Apakah keberadaan orangtua sambung semenakutkan itu?

“Ah! Aku ini memikirkan apa?!” Juwita mencoba menepis pikiran-pikiran buruknya. Dia harus membuktikan bahwa stigma itu bisa ditepis.

“Aku yakin, Ibu pasti bahagia,” gumamnya lagi.

Juwita bangkit dari duduknya, lalu dia berdiri di atas bebatuan. Suara gemericik aliran air dan peraduan dedaunan yang tertiup angin, membuat Juwita tanpa sadar merentangkan tangannya dan memejamkan mata. Semua terasa menenangkan. Embusan angin yang menerpa wajahnya, membuat Juwita merasa sedikit mengantuk.

“Eh? Aaaa!” Mata Juwita yang sudah terpejam semakin terpejam. Raut wajah terkejutnya semakin menjadi karena dia kehilangan keseimbangan.

Juwita nyaris terjatuh. Nyaris! Ada seseorang yang menahan tubuhnya. Membuat sedikit demi sedikit mata Juwita terbuka. Gadis itu sedikit tersentak karena wajah si penolong itu terlalu dekat dengan wajahnya.

“Bisa kau jauhkan wajahmu? Aku tidak bisa bernapas,” kata Juwita dalam kondisi terjepit. Memang, dia sulit bernapas karena detak jantungnya tiba-tiba berdetak lebih dari normal. Terlebih sebelumnya, Juwita belum pernah sedekat ini dengan lawan jenis.

Tanpa melepaskan pelukannya, orang itu membawa Juwita beberapa langkah ke rerumputan, lalu menjatuhkannya.

“Aww! Kau ini kenapa?” Juwita merintih kesakitan saat tubuhnya mendarat di atas rumput. Lelaki di hadapannya ini memang tidak ada akhlak. Menjatuhkannya tanpa aba-aba.

“Lebih baik kau jatuh di atas rumput, daripada harus jatuh ke dalam sungai. Aliran sungai sedang deras, kau bisa hanyut dan mati sia-sia. Lain kali, berhenti berbuat hal bodoh. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalahmu.” Selepas berkata seperti itu, lelaki berpakaian lusuh itu langsung pergi meninggalkan Juwita yang terpaku sesaat dengan ucapan lelaki itu.

Bunuh diri katanya? Siapa yang mau bunuh diri? Juwita terkekeh geli mengingat tuduhan itu. Lucu saja dengan pemikiran aneh lelaki itu.

“Kau terlihat menyebalkan, tapi kenapa aku ingin bertemu lagi dengannya?” gumam Juwita sambil membayangkan wajah tampan di balik noda-noda tanah di wajah itu.

30 Days With FolkloreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang