GS | Lost My Way

237 67 14
                                    

Tujuanku adalah kamu.

Jika kamu hilang, maka ku kehilangan arah.

...

"Keong Kecil, aku pergi dulu, ya!"

Seperti biasa, Lembayung akan pamit pada keong emas, ketika dia akan memulai aktifitas di setiap harinya. Walau dia tahu, tak akan ada balasan dari hewan bertubuh lunak itu. Kebiasaan barunya ini memang terasa menyenangkan.

Sudah siap dengan segala bawaannya, Lembayung ternyata tidak meneruskan langkahnya ke kebun, melainkan berbelok ke arah sungai yang tak jauh dari gubuknya. Dia berdiam diri sejenak. Mencoba menenangkan pikirannya yang mendadak gugup karena sedang merencanakan sesuatu.

Tentang masakan yang selalu tersedia di gubuknya, membuat Lembayung merasakan beberapa rasa secara bersamaan. Di sisi lain, dia sangat mensyukuri dengan apa yang didapatkannya, namun di sisi lain, dia juga terheran-heran siapa yang ada dibalik semua ini.

"Apa ini salah satu perintah dari keraja—ah, tidak-tidak! Mereka mengawasiku saja, aku tahu. Kalau memang mereka pelakunya, seharusnya aku pun tahu," pikir Lembayung.

Matanya memandang mengitari sekeliling. Pandangan Lembayung terpaku pada daun-daun yang bergerak bukan karena sapuan angin. Tak lama senyum tipisnya tersungging. "Sepertinya memang bukan mereka," gumamnya.

Tak dapat dipungkiri, Lembayung begitu gugup di balik senyumnya. Entah mengapa ada perasaan takut yang menyelimuti hatinya. Takut merasakan kekecewaan, karena dalam hatinya yang terdalam dia berharap yang selama ini memasak untuknya adalah orang yang selama ini dia harapkan. Seorang gadis yang diharapkannya untuk menjadi pasangan hidup kelak.

"Aduh! Aku ini mikir apa? Bagaimana mungkin gadis itu? Kenal saja tidak. Jangan berkhayal kemana-mana!" gerutu Lembayung sambil menepuk-nepuk kepalanya. Berusaha mengenyahkan bayangan seorang gadis yang akhir-akhir ini sering membayanginya.

Lembayung membaringkan tubuhnya di atas batu pinggir sungai. Lelaki itu harus mendinginkan dulu pikirannya, sebelum mengetahui kenyataan yang akan dia hadapi di depan nanti.

"Kalau dia laki-laki, akan kujadikan saudara. Kalau dia perempuan, tentu saja akan kujadikan istri," ucap Lembayung dengan mata yang perlahan terpejam. Kekehannya terdengar setelah menyadari bahwa yang diucapkannya sangatlah konyol. Dia terlihat seperti pangeran yang sedang mencari sesuatu yang hilang. "Apa pun itu akan kuterima, asal bukan hantu," bisiknya di ambang kesadaran.

🐌🐌🐌

"Apa Ayung tidak mau pulang? Ibu merindukanmu, Nak."

Tiada hari-hari tanpa kesedihan bagi Permaisuri setelah kepergian Putra Mahkotanya beberapa bulan lalu. Terlebih kepergian anaknya itu karena keegoisan mereka sebagai orang tua. Sangat jelas dalam ingatan Permaisuri bahwa anaknya pergi karena menolak keras perjodohan dengan putri kerajaan tetangga. Alih-alih menahan anaknya pergi, sang Raja justru membiarkan anak itu berkelana sendiri, bahkan memblokade lelaki itu agar tidak datang lagi ke kerajaannya.

"Kau masih saja memikirkannya?" tanya sang Raja ketika melihat istrinya sedang tersedu-sedu menatap lukisan anaknya yang terpajang di dinding. Ini bukan penampakan asing, namun Raja masih saja jengah jika Permaisuri terus menangisi anak tak tahu diri itu.

"Bagaimanapun Ayung anak kita, Yang Mulia. Tak mungkin jika aku tidak memikirkannya sama sekali." Sama seperti ibu-ibu yang lain, Permaisuri pun merasakan kekhawatiran mendalam saat anaknya jauh entah di mana. Apakah anaknya makan dengan baik? Bagaimana keadaan tempat tinggalnya? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada anaknya? Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah lepas dari benak Permaisuri.

30 Days With FolkloreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang