Bab 2

67 8 1
                                    

Part ini ditulis oleh Meilan85

Semenjak kejadian luar biasa beberapa hari lalu, sikap Reva sudah kembali seperti semula. Ia bahkan terlihat lebih tenang. Begitu pun saat berpapasan dengan Prita, malah seterunya yang sering terlihat salah tingkah. Justru senyuman yang Reva berikan setiap kali mereka bertemu.

Hati Reva memang tidak menaruh dendam sama sekali, mungkin karena kalimat-kalimat Ibu atau mungkin karena semua amarahnya sudah terkuras saat perkelahian itu. Yang jelas, percakapan dengan Ibu masih terus membekas dalam ingatan dan meluruhkan hatinya.

"Kamu berkelahi?" Mata Ibu melebar mendengar pengakuan Reva. Punggung Ibu langsung menjauh dari bantal tempatnya bersandar, duduk tegak dengan kedua tangan mencengkeram pundak Reva.

Kepala Reva menunduk dalam. Ia sadar telah melewati batas, tidak seharusnya berkelahi dalam menyelesaikan masalah. Tapi hati terlanjur sakit dan hinaan Prita terlampau dalam.

"Maafkan Reva, Bu?"

Meski pelan, Reva yakin Ibu tertawa. Bahkan tawanya itu terdengar begitu ringan seolah keluar dari dasar hati mewakili seluruh isinya. Reva bahkan lupa kapan terakhir kali mendengar tawa Ibu yang seperti itu. Sesaat matanya melekat ke wajah Ibu, entah mengapa ia melihat wajah Ibu seolah berubah lebih muda dan segar. Berbeda dengan sewaktu Reva memasuki kamar.

"Ibu tahu kelakuanmu itu tidak benar, mengumbar emosi memperlihatkan titik lemah, dan yang terpenting tidak semuanya bisa diselesaikan dengan amarah. Namun, terkadang kita juga harus memperlihatkan bagian diri yang lainnya, bukan untuk menakuti tapi sekadar memberi tahu bahwa yang terlihat lemah pun sebenarnya kuat." Suara Ibu yang lemah namun terdengar begitu tegas dan lugas.

"Ibu," tenggorokan Reva terasa kering. Sungguh ia belum memahami maksud perkataan Ibu.

"Maafkan Ibu, jika selama ini telah membebanimu dengan masalah yang tidak seharusnya. Membuatmu menerima banyak hinaan dan panggilan buruk padahal tidak seharusnya seperti itu. Kesalahan Ibu membuat banyak penderitaan untukmu."

Giliran Reva memeluk erat Ibu.

"Reva janji, ini adalah perkelahian pertama dan terakhir, Bu."

Senyuman Ibu semakin menenangkan hati Reva yang panas.

"Jangan berjanji yang sekiranya bisa dilanggar, berjanjilah pada dirimu sendiri untuk tidak membiarkan amarah mengalahkan logika. Jika memang berkelahi diperlukan, kenapa tidak?" Mata Ibu menatap dalam,"Jangan salah paham, seandainya suatu hari nanti tiba-tiba ada seseorang yang membuatmu tidak ada pilihan selain berkelahi, apakah akan diam saja? Mati konyol?"

Reva menghela napas dalam.

"Ingat Reva, ini bukan nasihat, hanya pengandaian di mana kamu harus memilih antara melawan dan memegang janji. Karena sudah mengucapkan janji nyawamu menjadi taruhan, Ibu tidak ingin seperti itu. Suatu hari nanti, saat harus memutuskan sesuatu sendirian tetaplah menjadi bijaksana." Mata Ibu kembali sayu seperti semula.

Beban hati yang tidak terucap selama bertahun-tahun terus menggerogoti kesehatannya. Reva yakin itu, namun ia juga tidak berdaya. Tidak mungkin memaksa Ibu untuk berbagi sementara Ibu sendiri lebih memilih menyimpannya rapat-rapat.

Reva kembali memeluk tubuh ringkih ibunya. Sampai detik ini hanya itulah yang bisa ia lakukan, memeluk dan bermanja-manja. Karena setiap kali ia bersikap begitu, Ibu akan terlihat berbeda, lebih ceria dan bersemangat. Apalagi akhir-akhir ini kesehatan Ibu terus menurun. Dan lagi-lagi, wanita yang akan terus terlihat cantik di mata Reva ini menolak berobat ke dokter spesialis, hanya mengandalkan obat dari dokter umum.

Bukan tidak berusaha membujuk, lewat Pakde, entah berapa kali Reva memintanya untuk membujuk Ibu agar mau berobat ke dokter spesialis. Namun semua usaha Pakde ditolak halus oleh Ibu. Reva menyadari sepenuhnya, kalau Ibu lebih mementingkan sekolah Reva daripada kesehatannya. Memang benar tabungan pendidikan yang sudah Ibu siapkan akan terpakai jika Ibu berobat, namun apa gunanya sekolah kalau saat Ibu sakit tapi tidak bisa berobat.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang