Bab ini di tulis oleh Meilan85
Tidak mudah melewati malam ini, rangkaian kejadian yang Pakde ceritakan seolah terus mengikuti pikirannya meski sudah coba dialihkan. Ada yang lebih penting dari sekadar mengingat terus cerita pedih yang sudah Ibu simpan sendiri. Reva paham mengapa Ibu begitu bersikukuh seperti itu. Dan sebagai anak Ibu, sudah seharusnya ia bisa tegar menjalani hari-harinya. Lalu, Ayah? Satu embusan napas berat Reva keluarkan.
"Pakde, hari ini Reva nggak usah diantar, biar naik angkot saja." Reva berdiri hendak menaruh piring kotor bekas ia sarapan ke tempat cuci piring.
"Memangnya kenapa?" Mata Pakde sedikit curiga.
Ia tahu betul kalau Arini sudah berhasil mendidik keponakannya untuk tidak selalu merepotkan orang lain. Namun keadaan sekarang berbeda, hatinya belum mau melepas Reva begitu saja. Sekalipun dari luar Reva terlihat baik-baik saja, namun jauh di dasar hatinya luka itu masih belum mengering, Pakde yakin sekali.
"Ada yang harus Reva selesaikan dahulu, lagipula hari ini masuknya agak siangan karena ada rapat mendadak diberitahukan lewat grup WhatsApp sekolah."
Setelah meneguk sisa air minumnya, Reva siap berangkat. Ia harus ke bank terlebih dahulu memberikan beberapa berkas pengalihan tabungan dari atas nama Ibu untuknya. Dua hari lalu, Reva datang ke bank memberitahukan kalau Ibu meninggal karena ia tahu Ibu punya tabungan.
"Baiklah, hati-hati," ucap Pakde, senyumnya lebar menyemangati Reva.
Salah satu yang membuat Reva betah tinggal bersama mereka adalah sikap demokratis yang Pakde dan Bude miliki. Tidak dipungkiri memang kalau mereka sedikit protektif, namun tidak membatasi ruang gerak untuk Reva. Pada saat Reva butuh sendiri, mereka membiarkannya namun tidak dilepas begitu saja, dari jauh mata keduanya tidak pernah lepas mengawasi. Mungkin kehadiran Reva juga sedikit mengobati kerinduan keduanya pada anak perempuannya yang bekerja di negeri asing.
Reva terpekur di meja Costumer Service,ternyata tabungan pendidikan yang sudah Ibu siapkan jumlahnya cukup besar. Dipotong biaya selama beberapa bulan lagi sebelum keluar dari SMA untuk biaya awal kuliah rasanya lebih dari cukup.
"Ibu..." desisnya hampir tidak terdengar.
***
Suasana sekolah masih sepi saat Reva menyusuri menapaki koridor menuju kelasnya. Belum ada keriuhan di depan kelas-kelas yang dilewatinya. Reva menghentikan langkah, matanya sedikit memicing mengarah ke kelasnya yang tinggal beberapa meter lagi. Ia yakin kalau belum ada seorang pun di sana. Kakinya kemudian berputar menuju koridor sebelah kanan dari tempatnya berdiri saat ini, rasanya sudah lama sekali tidak bersembunyi di tempat favorit, perpustakaan.
"Rev..."
Bibir Reva merapat, ia tidak mungkin salah menebak siapa pemilik suara yang barusan memanggil namanya. Pelan kepala menoleh ke belakang. Prita tengah melangkah panjang menuju ke arahnya. Reva menahan napas, lalu mengeluarkannya sedikit demi sedikit. Diam-diam ia memanjatkan doa agar diberi ketenangan begitu berhadapan dengan si mulut berbisa itu.
"Reva," Prita menarik tubuh Reva ke dalam pelukannya begitu keduanya berhadapan. Reva yang tidak siap dengan tindakan Prita tertarik begitu saja, beberapa detik keduanya berpelukan.
"Aku minta maaf atas semua yang sudah kulakuin sama kamu, Rev," wajah Prita terlihat begitu sungguh-sungguh dan Reva juga sudah merasakan lewat pelukannya barusan.
"Kamu maafin aku, kan?" Kedua tangan Prita meraih lalu merangkum ke sepuluh jari tangan Reva.
Reva anggukkan kepala, bibirnya membentuk sebuah senyuman tulus. Sekali lagi Prita memeluknya, kali ini lebih erat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Ayah
General FictionReva Putri Anjani, 18 tahun, selama ini hanya mengenal sosok ibu dengan segala kegetiran hidup yang harus dijalani. Namun setelah kematian Ibu, tiba-tiba seseorang datang mengaku sebagai ayahnya. Ujian yang datang silih berganti membuatnya bertanya...