Bab ini ditulis oleh Meilan 85
Reva langsung menuju dapur. Kerongkongannya benar-benar kering, ia kehausan dan semua karena ulah Daffa, meskipun akibat kenaifannya juga. Mengapa ia begitu saja terkecoh dengan sikap manis yang ditunjukkan si muka sok polos itu.
"Reva?" Tante Ratna terheran-heran melihat langkah panjang Reva mendekati lemari es. Ia semakin terkesima ketika segelas penuh air dingin Reva habiskan hanya dalam satu tarikan napas.
"Pelan-pelan, nanti kamu tersedak," ucapnya melangkah mendekati Reva yang menyandarkan punggungnya ke kursi dengan kasar.
"Kamu kenapa? Seperti habis berjalan kaki jauh saja." Tangan Tante Ratna menarik satu kursi untuk ia duduki, menatap Reva yang tengah mendongak menatap langit-langit dapur.
"Hari ini aku mendapat satu pelajaran berharga, Tante." Mata Reva menatap lekat-wajah wanita yang telah melahirkan anak manja itu. Reva menelan ludah getir, ia telah kehilangan Ibu, wanita yang pasti akan membelanya mati-matian. Dan wanita yang kini berada dalam tatapannya ... tidak layak mendapatkan informasi apa pun!
"Aku permisi, Tante, mau ke kamar dulu," Reva mendorong pelan kursi yang diduduki menggunakan punggungnya. Hal yang selalu ia lakukan pada saat marah, dan Ibu tidak menyukainya. Ibu beralasan kalau gerakan yang dilakukannya bisa membahayakan, coba kalau kedua kakinya sedikit melenceng, keseimbangan tubuhnya pasti hilang dan akibatnya terjengkang ke belakang.
"Reva, tadi kamu mau cerita apa?" Tante Ratna langsung berdiri mencoba mencegah Reva dengan tatapannya.
Namun, Reva sudah tidak peduli lagi. Yang ia butuhkan saat ini adalah duduk diam, atau tiduran agar hatinya yang panas tidak semakin membara. Tanpa menoleh lagi ke wajah Tante Ratna, langkah kakinya kini menuju lantai dua, ke kamarnya. Tiba di lantai dua, Reva tidak langsung ke kamar, ia memilih duduk di depan televisi, setelah terlebih dahulu membuka pintu balkon. Ia membiarkan angin berembus masuk menerpa tubuhnya yang bersandar ke tumpukan bantal. Kakinya terjulur santai, berbanding terbalik dengan otaknya yang terasa benar-benar buntu memikirkan tingkah Daffa.
Buk! Sesuatu mengenai lengan kanannya. Mata Reva terbuka sedikit mengintip. Seketika matanya langsung melebar begitu sosok tinggi putih menjulang tengah menatap ke arahnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Luar biasa ..." Tepuk tangan salut, Daffa berikan.
Reva duduk tegak, mencoba setenang mungkin. Ia tidak mau memberikan kepuasan maksimal terhadap si mata sipit yang tersenyum sinis. Terlihat marah berarti mengakui kekalahan.
"Terima kasih sudah menjaga barang-barangku." Tangan Reva mulai sibuk memeriksa isi tasnya, "semoga tidak ada yang menarik buat kamu curi!"
"Apa?" Rahang Daffa terlihat mengeras.
Reva yang sudah berdiri sejajar mengibaskan rambut keriwilnya, lalu berjalan gemulai ke kamarnya meninggalkan Daffa yang mendengkus kesal.
***
Reva berjalan membelah pelataran parkir Banus, kampusnya, mengambil sisi kiri gedung utama agar tidak memutar lebih jauh karena tujuannya perpustakaan. Ia menemukan jalan itu saat masa pengenalan kampus dulu, ditunjukkan senior yang lumayan baik hati. Mungkin karena melihat wajah memelas yang selalu Reva pasang, jurus andalan agar tidak terlalu dipersulit para senior.
Namun, justru tampang memelasnya yang kerap membuat Daffa kalap, apalagi kalau Reva berhasil melaksanakan tugas tanpa mendapat hukuman.
"Wajah kumal itu memang ampuh!" Telunjuk Daffa mengarah tepat ke hidung Reva saat gadis berlesung pipit dan pipi chubby itu tersenyum penuh terima kasih saat dulu menerima pita merah, sebagai tanda ia lulus dari senior terakhir yang katanya paling galak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Ayah
Fiksi UmumReva Putri Anjani, 18 tahun, selama ini hanya mengenal sosok ibu dengan segala kegetiran hidup yang harus dijalani. Namun setelah kematian Ibu, tiba-tiba seseorang datang mengaku sebagai ayahnya. Ujian yang datang silih berganti membuatnya bertanya...