Bab 11

33 4 0
                                    

Bab ini ditulis olehfebripurwantini

Reva tersenyum sinis melihat ekspresi Daffa.

"Kenapa lihatnya sampai melotot gitu, sih? Takjub lihat cewek cantik kayak aku?"

"Nggak mungkin itu lo!" Daffa menggeleng-geleng tak mengerti, bagaimana mungkin itik buruk rupa mendadak berubah seperti Cinderella tanpa sepatu kaca.

Reva memasang senyuman manis yang membuat siapa pun jatuh hati menatapnya.

"Jangan bilang kalau kamu naksir aku, Daf. Kasihan Vania." Reva mengerling ke arah Vania yang melangkah mendekati mereka berdua.

"Apa lo bilang? Lo itu, kan ..." Kalimat Daffa menggantung di udara.

"Aku kenapa? Lihatnya aja sampai nggak berkedip gitu. Nggak usah malu buat mengaku, Daf. Bilang aja ke semua orang."

Daffa terbelalak, kalimat bermakna ambigu yang dilontarkan Reva berhasil memancing prasangka orang lain. Bibir Daffa terkatup rapat agar tidak memuntahkan pengakuan bahwa ia dan Reva sebenarnya saudara seayah.

"Duh, maaf ya, Vania. Bukan salahku kalau Daffa sampai kelimpungan begini. Oya, selamat ulang tahun, ya. Aku nggak bisa lama di sini."

Reva menyerahkan kado yang dibungkus dengan kertas bermotif batik berisi novel best seller pada Vania, lalu beranjak keluar dari rumah itu.

Daffa secara spontan hendak mengejar gadis itu, tetapi langkahnya tertahan oleh genggaman Vania di pergelangan tangannya. Daffa menoleh ke Vania, tetapi tamparan keras mendarat di pipi kirinya.

"Daffa, gue baru tahu ternyata lo begini. Lihat cewek cakep dikit aja langsung jelalatan. Gue kecewa sama lo, Daf. Mending lo pergi aja. Eneg gue ama lo!"

"Vani, tunggu dulu. Nggak mungkin aku naksir Reva, dia itu ..."

Vania mengibaskan sebelah tangan dan berlalu dari hadapan Daffa yang seketika kuyu. Cowok itu berjalan dengan kepala tertunduk dan hati remuk redam meninggalkan rumah Vania. Sementara itu, di dalam mobil yang terparkir di seberang jalan, begitu sosok Daffa keluar dari rumah mewah itu, Reva langsung meminta Pak Salim untuk menjalankan mobil.

Sekarang kita impas, Daf, batin Reva menyeringai puas.

***

Haris terbangun pagi itu dengan perasaan ganjil. Sejak kehadiran Reva di rumah ini, hidupnya terasa lebih lengkap. Selain kehidupan mapan yang diimpikan oleh banyak orang, ia pun memiliki istri yang lemah lembut dan berhati lapang. Kedua buah hatinya yang seperti Tom dan Jerry, kini menyemarakkan hari-hari yang sebelumnya sewarna monokrom. Andai saja Haris bisa memaafkan dirinya sendiri atas luka yang diberikan untuk Arini, mungkin hidupnya telah sempurna.

Namun, lelaki yang masih tampak gagah di usia kepala empat itu, memiliki firasat bahwa ada hal buruk yang akan menimpa mereka. Ia akan berangkat ke kantor pagi-pagi untuk menuntaskan masalah yang dihadapi akhir-akhir ini.

Setelah berpenampilan rapi, ia menuju meja makan. Ratna menyambutnya dengan seulas senyuman. Daffa dan Reva telah duduk berdampingan saling bungkam seakan-akan ada sekat tebal yang menjadi pemisah. Haris memicing curiga, pasti sesuatu telah terjadi di antara mereka. Ia dan Ratna memutuskan untuk tidak terlalu mengintervensi hubungan mereka. Haris membiarkan mereka untuk belajar saling memahami seiring berjalannya waktu. Ia percaya hari itu akan tiba.

Haris melirik Reva yang mengambil sarapannya sedikit. Ia teringat keluhan Ratna semalam yang mencemaskan Reva karena tidak pernah terlihat berselera makan. Haris menghela napas. Ia mengusulkan agar Ratna memasak makanan khas Yogyakarta sebagai penawar rindu. Namun sepertinya pagi ini pun sama. Reva tampak menyuap sarapannya tanpa minat.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang