Bab ini ditulis oleh Meilan85
Reva terus menimbang keputusan yang harus segera diambilnya. Entah mengapa ia mulai meragukan hatinya sendiri. Mungkinkah karena keinginannya melanjutkan kuliah membuatnya sedikit goyah. Dua hari berlalu semenjak pertemuannya dengan Haris Erlangga, ayahnya, ternyata masih menyisakan banyak tanda tanya yang terus membuatnya bertanya. Terutama tatapan Haris selama pertemuan itu, Reva tidak bisa menyangkal kalau banyak sekali kerinduan terpancar disana. Benarkah ia begitu dirindukan? Lalu mengapa setega itu mengabaikan dan membiarkan Ibu terus mengunci diri dengan rasa sakit hatinya. Tidak adakah upaya untuk meluluhkan hati Ibu, untuk sekadar bisa bertemu dengan anaknya?
Serbuan pertanyaan yang kadang menyudutkan, menyalahkan, dan menolerir sikap Ibu terus berdatangan tumpang tindih, membuat Reva terus kehilangan jam tidurnya. Denyut di kepala yang dirasakan sudah merupakan pertanda kuat kalau matanya perlu tidur yang berkualitas. Namun, ia tidak bisa mengenyahkan semua pikirannya barang sedetik. Reva terus gelisah memilih antara bertahan dan menyerah ikut dengan Ayah.
Segala sesuatu perlu pengorbanan, Rev. Bagian dirinya seolah memberikan nasihat saat Reva bercermin. Jika setiap keinginan selalu didapat dengan mudah, lalu apa arti sebuah perjuangan? Reva menekap wajahnya.
Jika benar yang harus kamu panggil ayah itu bertanggung jawab, mengapa setelah kamu besar baru datang? Menawarkan jasa di atas luka yang selama ini dia tebar? Bagian dirinya yang lain memberotak. Percakapan yang membuat Reva mual dan kepalanya semakin berdenyut.
"Rev...," suara Bude terdengar diiringi ketukan pelan di pintu kamar.
Reva yang masih berdiri di depan cermin menoleh ke arah pintu. Kakinya spontan melangkah mendekat, lalu tangan kanannya menarik gagang pintu.
"Makan dulu," tatapan Bude penuh kekhawatiran, "dari pagi kamu tidak makan apa pun selain minum air putih. Itu tidak baik, Reva."
"Iya, Bude."
Bahkan nafsu makan Reva pun ikut-ikutan lenyap. Ia akan makan kalau Bude sudah memintanya dengan setengah memaksa.
"Jangan biarkan dirimu kalah, ayo makan!" Suara Bude sudah berubah perintah.
"Iya, Bude," Reva anggukkan kepala kemudian mengikuti langkah Bude menuju dapur. Sepanjang Reva makan, Bude terus menemani seakan takut kecolongan Reva pura-pura makan.
"Kalau boleh Bude sarankan, ambil keputusan bijaksana. Tidak ada yang memaksa, kamu mau tetap di sini bersama kami, Bude sama Pakde sama sekali tidak keberatan. Hanya saja kamu mungkin harus lebih berhemat dari sebelumnya, sementara jika ikut ayahmu setidaknya tugasmu hanya belajar dan bahagia."
Reva tersenyum tipis, kata-kata terakhir Bude telah menggelitik hatinya. Kepalanya mengangguk tanda setuju.
"Pakde dan Bude hanya ingin terbaik buat kamu, Rev."
"Iya, Bude."
Setelah makan Reva duduk-duduk di teras belakang, tempat favorit Pakde. Di belakang rumah Pakde ditanami berbagai tanaman kebutuhan rumah tangga, mirip dengan warung hidup. Dari singkong yang bisa dipetik daunnya hingga cabe rawit dan tomat. Bude juga kerap menanam kangkung di pot-pot dari kaleng cat bekas. Semua tumbuh subur dan terpelihara.
"Kamu di sini?" Pakde sudah berdiri di pintu.
Reva tersenyum tipis.
"Sudah makan?" tanya Pakde seraya duduk di samping Reva. Kedua kakinya dibiarkan selonjoran santai.
"Barusan Reva makan."
"Lagipula apa untungnya mengabaikan perut, malah kesehatanmu yang terancam. Terus kalau sakit siapa yang rugi?" Pakde tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Ayah
General FictionReva Putri Anjani, 18 tahun, selama ini hanya mengenal sosok ibu dengan segala kegetiran hidup yang harus dijalani. Namun setelah kematian Ibu, tiba-tiba seseorang datang mengaku sebagai ayahnya. Ujian yang datang silih berganti membuatnya bertanya...