Bab 8

56 6 2
                                    

Bab ini ditulis oleh Meilan85

Sungguh Reva tidak tahu apa yang harus dilakukan. Seharusnya ia memang tidak membuat jarak dengan mereka yang sudah berusaha menampakkan keramahan dalam menyambutnya. Namun, ia juga belum mampu berdamai dengan hatinya, jujur saja rasa sakit itu masih demikian melilit, hingga membuatnya terkadang sulit bernafas. Apalagi melihat kenyataan yang terhampar di depannya, kehidupan yang berbanding terbalik dengan yang selama ini ia jalani.

Deru mesin mobil menyeret langkahnya mendekati jendela. Tangannya menyibakkan tirai mengintip ke luar lewat jendela yang menghadap ke halaman depan. Karena posisinya berada di lantai dua, ia bisa leluasa melihat keseluruhan halaman depan. Reva yakin yang dilakukannya saat ini tidak akan kelihatan. Sebuah mobil berjalan mulus keluar dari garasi yang terletak tidak jauh jadi bangunan tempat Reva berada saat ini.

Matanya kemudian menangkap sosok semampai nan anggun berjalan memutari mobil yang sudah terparkir tepat di depan pintu, lewat sisi sebelah kiri perempuan itu memasukinya. Dan ternyata lelaki yang duduk di belakang kemudi adalah Ayah. Reva menahan napas, lalu di mana dia? Masih seorang lagi yang belum terlihat. Sementara mobil itu sudah meninggalkan pelataran depan rumah menyusuri jalanan berhotmix menuju gerbang depan, mata Reva terus mengikuti sampai mobil tersebut benar-benar hilang dari pandangannya.

Ketika badan Reva berbalik menjauhi jendela, raungan knalpot terdengar memecah kesunyian pagi. Tangan Reva menyibak tirai lebar-lebar, tampak di bawah sana, di parkiran yang tidak jauh dari garasi, Daffa tengah duduk di atas motor yang distandar sambil menarik setang gas hingga menimbulkan raungan yang memekakkan telinga.

Sedetik kemudian ia melesat bagai busur keluar dari anak panah, meninggalkan sedikit debu beterbangan yag bercampur dengan asap knalpot. Kepala Reva menggeleng pelan, sebuah pertanyaan muncul kembali. Mampukah dirinya berbaur dengan mereka, karena mau tidak mau, cepat atau lambat ia harus mengalah. Tujuannya datang ke sini bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk belajar. Reva berusaha mengingatkan dirinya, kalau kehadirannya di rumah ini tiada lain hanya demi melanjutkan kuliah.

Pemilik rumah besar semuanya sudah pergi, berarti yang tersisa dirinya, Pak Salim dan Mbak As. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, Reva memilih turun. Tak ada salahnya kalau kesempatan ini dimanfaatkan untuk mengenal keadaan rumah.

Sejenak Reva mematung menatap pintu kamar yang berhadapan dengan kamarnya. Ah, biarlah.

"Non Reva?"

Mbak As yang sudah menaiki satu undak anak tangga mendongak begitu pintu kamar Reva tertutup. Reva menoleh cepat.

"Mbak," Reva berjalan menuruni anak tangga, sedangkan Mbak As menarik kembali langkahnya memilih menunggu Reva turun.

"Semuanya sudah pergi, ya?" tanya Reva hati-hati. Ia tidak menemukan kalimat pembuka yang tepat.

"Katanya ada acara di kantor, Non? Tapi Non Reva tidak usah khawatir, masih ada Mbak dan Pak Salim di rumah. Kalau Non perlu sesuatu jangan sungkan, ya?" Bibir Mbak As tersenyum.

Reva anggukkan kepala sebagai balasan.

"Mbak saya boleh berkeliling rumah ini, kan?"

"Tentu saja, Non. Bebas..." Mbak As merentangkan tangannya lebar-lebar.

Reva memilih berjalan ke bagian sayap kiri rumah. Tadi pagi ia hanya masuk ke ruang tamu, ruang keluarga, lalu ke kamarnya di lantai atas. Lalu Mbak As membawanya ke ruang makan yang berdampingan dengan ruang keluarga. Entah mengapa bagian sayap kiri rumah justru yang menarik untuk dijelajahi.

Seperti di lantai atas, di bagian kiri rumah ada dua ruangan berhadapan, bedanya di sini dipisahkan lorong pendek yang ujungnya berjendela lebar. Mengikuti kata hati, Reva memilih ruangan sebelah kiri. Perlahan tangannya mendorong pegangan pintu, tidak dikunci. Kepala Reva melongok masuk terlebih dahulu, meneliti keadaan di dalam. Matanya langsung melebar melihat isi ruangan. Lalu dengan sedikit tergesa segera memasukinya.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang