Bab 5

45 6 1
                                    

Bab ini di tulis oleh febripurwantini

Ujian Nasional sudah berlalu. Hari ini ia harap-harap cemas menanti pengumuman Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah memejamkan mata sekejap dan berdoa, Reva mengumpulkan keberanian untuk melihat hasilnya.

Sedetik, dua detik berlalu. Reva mendesah pelan. Harapannya yang sempat membumbung tinggi harus terempas. Ia menekuri kegagalannya, merasakan sakitnya kecewa selama beberapa saat. Namun, ia mengerti jika belum saatnya menyerah kalah. Bila satu pintu tertutup, maka ia harus berupaya untuk membuka pintu lainnya.

Reva sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang akan berlangsung dalam hitungan minggu lagi. Kali ini, ia harus berjuang lebih keras daripada sebelumnya.

***

Reva hanya memerlukan waktu sebentar untuk membereskan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam travel bag abu-abu. Dia hanya membawa beberapa potong kaus dan blus, beserta bawahan berupa celana dan rok panjang. Barang pribadinya tidak terlalu banyak. Sangat mudah ia putuskan mana saja yang mesti dibawa. Tak lupa ia selipkan beberapa lembar foto Ibu, sebagian lagi foto mereka berdua, ke dalam buku agenda.

Tangannya terus sibuk bergerak untuk mengusir perasaannya yang berdenyut nyeri. Takdir memang tidak bisa ditebak. Ada orang yang tidak perlu bekerja keras dalam meraih impiannya, di sisi lain orang sepertinya yang berjuang mati-matian harus menerima kegagalan bertubi-tubi.

Reva teringat salah satu nasihat mendiang Ibu. Kadang Tuhan menguji kita justru untuk membentuk diri kita lebih kuat daripada sebelumnya. Selalu ada kemudahan di balik kesulitan. Mungkin Ibu benar. Ia harus belajar menerima takdirnya, berpasrah bukan berarti menyerah kalah.

Setelah kegagalan kedua kalinya di SBMPTN, Reva memupus harapan untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri. Ia tidak punya nyali untuk mendaftar Seleksi Mandiri PTN, karena tidak yakin tabungan pendidikan yang disiapkan Ibu cukup untuk membiayainya. Daripada terus-menerus terpuruk, rencana keduanya tidak boleh ditunda terlalu lama. Ia sudah bicara kepada Pakde agar menyiapkan keberangkatannya bekerja esok hari.

Reva yang sibuk di ujung tempat tidur tak menyadari kehadiran Pakde Ahmad yang mengintip dari balik pintu setengah terbuka. Laki-laki itu terlihat ragu-ragu sejenak, kembali menoleh ke istrinya yang berdiri tidak jauh dari sana. Bude mengangguk untuk memberikan dorongan. Akhirnya, Pakde Ahmad mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya setelah mendengar jawaban dari dalam.

"Jadinya besok berangkat jam berapa, Pakde?" Reva mendongak ke arah Pakde dan meneruskan menata beberapa pernak-pernik ke dalam tasnya.

"Rev, kamu yakin ingin menjadi asisten rumah tangga? Sudah kamu pikirkan baik-baik?"

Reva menghentikan kegiatan packing-nya dan mendongak ke arah Pakde yang berdiri menatapnya.

"Sudah, Pakde."

"Kamu nggak malu bekerja seperti itu?"

"Enggaklah, Pakde. Kerjaan apa pun Reva mau, asalkan halal." Reva menelan ludah. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Pakde, yang masih menanggung biaya kuliah putra bungsunya.

Pakde Ahmadlah yang selama ini banyak membantunya dan Ibu. Pakde memberinya sejumlah uang untuk melunasi rumah mungil yang ditinggali Ibu dan Reva. Biaya hidup selama Ibu kambuh sakit dan tidak bisa bekerja sebagai pramusaji di warung ayam goreng Bu Harni, Pakdelah yang mencukupi mereka.

Sudah sepantasnya Reva cukup tahu diri untuk tidak meminta lebih dari Pakde Ahmad. Keadaan keluarga Pakde terlihat pas-pasan. Mana mungkin Reva tega untuk membuatnya kerepotan. Tekad Reva sudah bulat. Ia harus mulai mengumpulkan uang sendiri untuk biaya hidup dan kuliahnya kelak.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang