Bab 9

37 4 0
                                    

Bab ini ditulis oleh febripurwantini

Tante Ratna yang terlihat sudah rapi memecah keheningan. Sambil menuangkan kopi untuk Ayah, ia menegur Reva yang duduk diam di meja makan.

"Pagi, Rev. Mau kopi atau jus?"

"Nanti biar Reva ambil sendiri, Tante."

"Gimana tidurmu semalam, bisa nyeyak?"

Reva tersenyum tipis. Ia mendesah perlahan menahan kepalanya yang sedikit berdenyut nyeri. Pagi ini, Reva terjaga dari tidurnya yang gelisah. Semalam, adrenalinnya memuncak karena membayangkan ia akan mengunjungi calon kampusnya. Saking semangatnya, ia baru terlelap lewat tengah malam dan telah membuka mata sebelum subuh. Persis seperti anak kecil yang terlalu bersemangat karena wisata keesokan harinya.

Gadis itu sedikit kecewa karena yang dicarinya tidak ada di meja makan. Dulu sewaktu tinggal bersama Ibu, setiap pagi pasti tersedia teh manis dengan keharumannya yang khas. Setiap teguknya mampu menghadirkan sensasi nyaman di dalam tubuhnya.

Reva mengisi separuh cangkir dengan kopi dan menyesapnya pelan. Ia teringat saat Pakde Ahmad beberapa kali mengajaknya ke warung angkringan di Yogyakarta untuk menikmati kopi jos pada sore hari. Minuman unik yang cara penyajiannya dengan memasukkan arang membara ke dalam gelas kopi menjadi teman mengobrol paling asyik.

Tiba-tiba, jantungnya berdesir. Hal-hal yang dulu dianggapnya sepele, kini menjadi kenangan yang begitu berharga. Ia ingin melipat waktu dan kembali ke masa itu, masa di mana Ibu masih berada di sisinya.

Reva menarik napas panjang. Ia tidak boleh larut dalam suasana melankolis seperti ini. Ia sekilas mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ayah yang duduk tenang menatapnya dari seberang meja. Sementara cowok bermuka masam yang duduk di sebelahnya ini tampak tak peduli dengannya. Daffa sibuk mengunyah roti bakar sambil sesekali meneguk jus jeruk.

"Oya, Reva, sebentar lagi Pak Salim akan mengantarmu untuk mendaftar ke Universitas Bakti Nusa. Kamu segera bersiap, ya." Tante Ratna mengingatkannya sekali lagi. Reva mengangguk patuh.

"Maaf, Ayah tidak bisa mendampingimu, kebetulan hari ini ada meeting." Ayah tampak berpikir sejenak, lalu menoleh ke arah Daffa. "Daffa, tolong dampingi Reva, ya?"

"Tapi, Yah ..."

"Daffa!" potong Ratna lembut sambil mengerling ke arah Daffa yang siap melancarkan protes. Daffa tidak sanggup membantah bundanya. Ia bangkit sembari bersungut-sungut, dan menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Ayah dan Tante Ratna saling berpandangan maklum. Mereka paham tabiat keras kepala Daffa. Apalagi sejak kecil terbiasa mendapat perhatian penuh dari kedua orang tuanya, sekarang ia mesti berbagi dengan saudarinya, Reva.

"Reva, jangan terlalu mikirin sikap Daffa, ya. Dia memang sering bertingkah ajaib seperti itu."

Reva mengangguk dan memaksakan senyuman kaku. Setelah menghabiskan sepotong roti tawar, ia pamit untuk mengambil berkas yang akan dibawanya di kamar.

Reva bersiap-siap secara kilat. Setelah bimbang sejenak, ia memutuskan memakai blus krem dipadu celana warna gelap. Beberapa saat ia mematut penampilannya di depan cermin, lalu keluar kamar sembari mencangklong tas berisi berkas pendaftaran kuliah. Sebelum menuruni tangga, ia sempat melirik kamar Daffa yang masih tertutup rapat.

Tante Ratna sudah menantinya di bawah tangga. "Rev, Pak Salim sudah menunggu di depan, ya. Daffa mana, sih?"

Reva langsung beranjak ke teras. Ia justru berharap Daffa tidak akan ikut bersamanya ke kampus.

"Non, mau berangkat sekarang?" Suara Pak Salim membuyarkan lamunan Reva.

"Eeng ... boleh deh, Pak."

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang