Bab 12

35 5 0
                                    

Bab ini ditulis oleh Meilan85

Reva sedang membaca salah satu novel yang ia bawa dari perpustakaan rumah sambil asyik ngemil makanan kesukaannya. Tiba-tiba ia tersedak. Ia berlari menuju dapur tangannya pegangi leher. Napasnya tersengal, dadanya terasa sakit. Setelah batuk beberapa kali, Reva meneguk air dari gelas yang barusan diambilnya.

Reva duduk di kursi makan, kedua tangannya terus mengelus dan sesekali ia menepuk-nepuk keras dada yang masih terasa sakit dan sedikit sesak. Untung tidak ada siapa-siapa. Tante Ratna entah mau ke mana diantar Pak Salim. Tadi pas pamit memang memberi tahu hendak kemana, namun Reva tidak begitu memperhatikan yang dikatakannya. Daffa, ah, terserah mau di mana juga. Sedangkan Mbak As tengah belanja ke pasar.

Makanya Reva merasa lebih leluasa membawa buku ke ruangan atas. Ia memang lebih suka menjadikan ruangan itu sebagai tempat membaca daripada di perpustakaan. Dengan membuka pintu balkon lebar-lebar dan membiarkan angin berembus ke dalam, acara membaca jauh lebih menyenangkan.

Namun tiba-tiba ia tersedak, padahal posisi membaca duduk tegak tidak sambil tiduran. Dada Reva berdesir, ketakutan perlahan menyelimuti hatinya. Bayangan akan hal-hal buruk mengerubuti pikiran, memaksanya pegangi kepala dengan kedua tangan.

"Tidak akan terjadi apa-apa ... semua pasti baik-baik saja." Bisiknya memberi semangat pada diri sendiri.

Perlahan ia berjalan kembali menuju lantai dua. Ketika melintasi ruang keluarga, tak sengaja matanya membentur foto bersama yang tergantung di dinding. Tangan menangkup kedua pipi chubby-nya, sedangkan matanya tertuju pada wajah Ayah yang terlihat tampan dengan senyuman khasnya.

"Ayah..."

Ada kerinduan yang mendadak membuncah. Wajah Ayah terus membayang di kelopak mata. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya, meski tinggal di rumah ini sudah hampir dua bulan tinggal bersama. Reva menangkupkan kedua tangannya di dada, mulutnya terus mengalunkan doa-doa yang ia bisa.

"Hey, lo nggak kesurupan, kan?" Daffa tiba-tiba sudah berdiri tiga langkah di belakang Reva. Matanya yang agak tipis melekat ke wajah Reva.

Reva tidak mengindahkan. Ia memilih menuju kamar daripada meladeni si alis tebal yang terus mengumbar senyum sinisnya. Padahal demi Tuhan, saat ini ingin sekali mata Reva melihat sesuatu yang berbeda dari Daffa. Senyum menggoda misalnya, siapa tahu dengan begitu debar khawatir yang kini semakin pekat menderanya bisa berkurang. Tetapi berharap seperti itu pada Daffa bagai menegakkan benang basah.

"Hei, Reva Putri Anjani..." Tteriakan Daffa memecah kesunyian rumah besar ini.

Reva menulikan telinga dengan ujung jari kelingkingnya. Ia menyapu titik bening yang keluar dari matanya. Di balik pintu kamar, untuk beberapa detik punggungnya bersandar, ingatan akan Ayah demikian mengimpitnya.

"Baiklah...," ucapnya pelan.

Dengan satu hentakan, Reva melemparkan tubuh ke atas tempat tidur. Tangannya meraih handphone yang tergeletak di atas bantal. Tekadnya sudah bulat, ia harus menghubungi Ayah. Gemetar tangan Reva menekan tombol handphone mencari nama Ayah, debar jantungnya berpacu lebih kencang lagi. Sekali ... sekali lagi ... lagi... Jangankan tersambung, bahkan nada deringnya pun tidak ada.

"Reva!" Gedoran di pintu membuat tubuh Reva mengejang sekejap. Ia turun dari tempat tidur tergesa, dari jauh tangannya sudah terulur meraih gagang pintu.

Begitu pintu berhasil ditarik, satu tangan menyambarnya secepat kedipan mata. Tanpa menunggu Reva yang sedikit melenguh karena kakinya tersandung pintu kusen, tangan itu terus menyeretnya menuruni tangga. Reva baru sadar kalau Daffalah yang telah membuatnya pontang-panting mengikutinya.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang