Bab 7

48 4 4
                                    

Bab ini ditulis oleh@febripurwantini

Reva tergoda untuk membenamkan tubuh lelahnya di tempat tidur yang nyaman. Namun ia ingat belum membersihkan diri setelah semalaman tidur di kereta. Gadis itu melangkah gontai menuju kamar mandi di sudut kamar.

Pancaran air hangat dari shower sedikit mengembalikan kesegaran tubuhnya. Sendi-sendinya terasa pegal setelah sepanjang malam duduk di dalam kereta.

Beberapa saat kemudian, Reva keluar kamar mandi. Jam dindingnya baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia memasukkan baju yang ia bawa ke lemari kayu yang memiliki cermin besar setinggi badan. Reva membelalak takjub. Di dalam lemari, sudah tersedia setumpuk kaus dan baju kasual, juga beberapa dress semiformal yang tergantung rapi.

Pakde benar. Mereka sudah menyiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan Reva. Ah, omong kosong. Lantas ke mana mereka bersembunyi saat ia datang ke rumah ini?

Reva mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia menatap langit-langit kamar. Ia benar-benar tidak menyangka bisa nekat menempuh perjalanan sendirian ke ibu kota. Apalagi ini perjalanan jauh pertamanya tanpa seorang pun yang menemani.

Sekitar pukul setengah enam pagi, ia sampai di stasiun. Pakde berpesan agar ia jangan berlagak seperti orang yang pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota. Reva yang teringat pesan itu segera mengikuti serombongan anak muda yang keluar dari stasiun. Ia pura-pura menjadi bagian dari rombongan itu dengan berjalan di belakang mereka.

Setelah berjalan cukup jauh dari stasiun, Reva bergegas memesan ojek daring dengan tujuan alamat yang diberikan Pakde. Ia tidak berminat menghubungi nomor ponsel ayahnya meskipun kartu nama itu masih tersimpan rapi di dompet. Dan akhirnya, di sinilah ia sekarang. Di sebuah istana yang pemiliknya sampai sekarang belum terlihat barang hidungnya. Reva mengembuskan napas. Ia tidak akan keluar dari kamar ini sebelum ada orang lain yang memintanya.

Baru sekejap ia terlelap, pintu kamarnya diketuk konstan. Reva terjaga dan berusaha mengumpulkan nyawa. Reva berdiri dan merapilan rambut dengan tangannya. Reva membuka pintu perlahan dan setengah kecewa karena bukan ayahnya yang berdiri di sana. Seorang perempuan usia tiga puluhan yang berpenampilan sederhana dengan rambutnya yang dikucir tersenyum ramah. Reva menduga orang ini yang bernama Mbak As.

"Non Reva? Maaf mengganggu, Non, sudah ditunggu sarapan di bawah."

Reva melongo sesaat lalu buru-buru mengangguk. Tiba-tiba, irama detak jantungnya tidak beraturan, mengingat inilah saat pertama ia akan bertemu dengan seluruh penghuni rumah ini. Reva mengikuti langkah Mbak As menuruni tangga ke lantai dasar dan berbelok ke kiri.

Mbak As membimbing ke arah ruangan yang tidak kalah lebar dari ruang keluarga, dengan jendela-jendela besar menyentuh lantai yang menghadap langsung ke halaman belakang. Ruangan itu terhubung langsung dengan dapur. Di tengah ruangan, terdapat meja makan panjang dilengkapi dengan deretan kursi berbantalan empuk.

Reva tercekat ketika ia melihat Haris Erlangga berdiri menyambutnya. Begitu pula dengan perempuan bergaun merah marun yang Reva lihat di foto keluarga di rumah ini. Perempuan berkulit putih bersih nan anggun itu menghampiri Reva perlahan. Mau tidak mau, Reva menaksir perempuan itu dari penampilannya yang memukau. Rambut lurus panjangnya membingkai wajah bulat telur yang dihias dengan make up natural.

Perempuan itu tersenyum, tetapi Reva tidak membalasnya. Ia bahkan tidak mengerti bagaimana cara berbasa-basi dalam situasi seperti saat ini.

"Reva, selamat datang di rumah ini. Kami harap kamu bisa betah tinggal di sini." Suara perempuan itu mengalun, selembut tatapan dan senyumannya. Tangannya terentang lebar seolah-olah hendak mendekap Reva. Namun, gadis itu menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang