Bab 3

53 7 0
                                    

Bab ini di tulis oleh febripurwantini

Reva menatap nanar gundukan tanah merah basah yang tertutup taburan bunga. Dia mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kali pada sosok yang terbaring di dalamnya. Pakde merengkuh pundaknya seolah-olah menyalurkan kekuatan. Hanya Reva, Pakde Ahmad dan istrinya yang masih tinggal di pemakaman.

"Reva, sudah sore."

Reva mengangguk dan membiarkan Pakde Ahmad membimbingnya menuju mobil tua yang terparkir di depan gerbang makam.

Sampai jumpa lagi, Bu, aku pamit pulang.

Reva memasuki rumah mungilnya dengan langkah tertatih. Tubuh dan pikirannya terlalu letih. Air matanya yang mengering belum mampu mengobati hatinya yang terasa perih. Belum lama Reva meninggalkan makam Ibu, tetapi kerinduan telah menyergapnya dari segala sisi.

Rumahnya sudah sepi dari pelayat. Para tetangga mulai beranjak pulang, tinggal menyisakan segelintir kerabat dekat.

Di ruang tamu, Reva bisa melihat bayangan Ibu yang menyambutnya setiap pulang sekolah. Reva meneruskan langkahnya ke ruang tengah, ruang kecil tempat mereka berdua biasa bercengkerama di depan televisi. Mereka sering berdebat kecil sembari menikmati kuaci bunga matahari atau cemilan lain.

Langkah Reva terhenti di ambang pintu kamar Ibu yang bersebelahan dengan kamarnya. Masih tertinggal jejak aroma Ibu di sana. Wangi lembut losion dan bedak yang selalu diejeknya sebagai barang antik, karena sejak dulu Ibu tidak pernah berganti merek.

Reva melirik dapur yang jarang digunakan Ibu memasak. Namun, di sanalah tempat Ibu menciptakan mahakarya. Racikan dari tiga jenis teh dengan seduhan dan takaran gula yang pas, menghasilkan aroma, warna, kekentalan, maupun rasa yang mantap tiada tanding.

Wangi tubuh Ibu dan teh racikannya menjadi kombinasi yang selalu menyenangkan. Reva menarik napas dalam-dalam, berharap aroma itu terhidu kembali. Namun, dia kecewa karena hanya bayangan Ibu yang datang lalu kembali menghilang.

Reva keluar ke teras rumah. Dia menengadahkan wajah. Kemilau langit menjelang senja tidak mampu menyibak mendung di hati Reva. Dadanya terasa terimpit, sesak. Bagaimana mungkin dia bisa melanjutkan hidup di dalam rumah yang terlalu penuh dengan kenangan Ibu?

"Reva ..." Gadis itu menoleh saat pundaknya menerima sentuhan lembut. Dilihatnya Bude, istri Pakde Ahmad, tersenyum.

"Kami akan menemanimu selama beberapa hari di sini."

Reva mengangguk, menghargai bentuk perhatian dari saudara dekat yang dia miliki. Kerabatnya yang tinggal di kota ini tidak banyak, hanya keluarga Pakde Ahmad dan beberapa saudara jauh. Putri sulung Pakde memilih menjadi TKI di Taiwan. Sedangkan putra bungsunya tadi meminta maaf melalui telepon karena tidak hadir saat ini, lantaran menghadapi ujian di kampusnya di Surabaya.

Reva paham. Dia lahir ke dunia dalam keadaan sepi. Pada saatnya nanti dia memang akan benar-benar sendirian. Tiba-tiba, tubuh Reva menggigil membayangkan dia akan hidup sebatang kara.

Bude menangkap keresahan keponakannya satu-satunya itu. Dia mengerjap ke arah suaminya yang bersila di karpet ruang tengah, lalu menuju dapur. Pakde Ahmad bangkit dari duduknya dan menghampiri Reva yang masih berdiri dengan linglung.

"Duduk, yuk, Rev."

Reva melangkah lunglai. Dia menuruti ajakan Pakde yang memintanya bersila di karpet bersamanya. Pakde melirik Reva yang duduk di seberangnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pakde paham jika saat ini banyak hal yang melintas di pikiran gadis itu.

Reva menatap kosong ke karpet yang warna merahnya mulai memudar. Setelah ragu-ragu sejenak, Reva mengangkat kepala dan memandang Pakde Ahmad. Lelaki yang selama ini selalu mendapat tempat khusus di hatinya itu masih terpekur, seakan-akan hendak memberinya waktu untuk berdiam diri.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang