Bab 13

41 3 0
                                        

Bab ini ditulis oleh febripurwantini

Napas Reva terengah-engah. Ia telah kehabisan kata-kata setelah memuntahkannya pada Daffa. Dalam situasi seperti ini, Reva tahu jika bukan saatnya mereka berselisih paham seperti ini. Seharusnya, mereka lebih banyak melangitkan doa pada Yang Mahakuasa untuk kesembuhan Ayah.

Sampai saat ini, kondisi Ayah masih belum sepenuhnya stabil, meskipun masa kritis telah dilalui. Benturan keras di tubuhnya membuat luka parah di beberapa bagian tubuhnya.

Reva yang malas berurusan dengan Daffa memilih duduk bersandar di ruang tunggu. Ia tidak mau peduli apa yang dilakukan cowok itu, meskipun ekor matanya menangkap Daffa yang berjalan mondar-mandir dengan raut wajah muram.

Ratna tiba-tiba keluar dari ruang perawatan dan menghampiri Daffa. "Bunda pulang dulu mau ambil beberapa perlengkapan, ya. Tolong kamu dan Reva jaga Ayah dulu."

Daffa mengangguk, padahal hatinya berteriak. Ia ingin Reva lenyap dari pandangannya saat ini, karena setiap melihat gadis itu membuat emosinya meledak.

Selepas Ratna pergi, Daffa masuk ke ruang perawatan Ayah tanpa menoleh sedikit pun ke arah Reva. Ia duduk termenung di samping ranjang Ayah, memandangi wajah pucatnya yang penuh luka. Ayah tampak tenang dalam tidurnya. Mungkin pengaruh obat pereda nyeri yang disuntikkan perawat tadi hingga menimbulkan efek tenang dan mengantuk. Berkali-kali Daffa menatap lekat gerakan naik turun dada Ayah untuk memastikan ia masih di sini, belum meninggalkannya sendirian.

Tenggorokan Daffa tercekat. Badannya menggigil meskipun udara di dalam bangsal rawat inap cukup hangat. Ia baru menyadari satu hal. Ia belum siap berpisah dengan Ayah. Ia terlalu takut kehilangan Ayah. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya, kehidupan seperti apa yang akan dijalani tanpa sosok ayah di sisinya.

Daffa merangkum tangan kanan Ayah. Tangan itu terasa hangat di dalam genggamannya. Entah berapa lama Daffa berada dalam posisi itu.

"Daf..." Sentuhan lembut di pundak Daffa membuatnya mendongak. Daffa sama sekali tak sadar kapan bundanya kembali. Lingkaran gelap di bawah mata perempuan itu semakin jelas, tetapi tidak mengurangi paras ayunya.

"Kamu belum makan sejak tadi malam. Makan dulu, Daf. Udah sore."

Ratna menatap putra semata wayangnya cemas. Ia belum pernah melihat Daffa sekalut sekarang.

"Daffa nggak berselera makan, Bun." Daffa meneguk ludahnya yang terasa pahit. Mungkin tanpa sadar asam lambungnya naik hingga ke kerongkongan karena tekanan batin sejak semalam.

"Bunda tahu, Nak. Bunda pun sama sekali nggak minat makan. Tapi kita harus kuat agar bisa menjaga Ayah."

Daffa memandang bundanya tak berkedip. Diam-diam, jauh di lubuk hatinya, ia menyimpan kekaguman untuk perempuan yang melahirkannya itu. Pada saat menerima kabar kecelakaan Ayah, bundanya tetap terlihat tegar meskipun hatinya pasti terpukul.

Namun, tidak hanya itu yang membuat Daffa takjub. Ia teringat beberapa bulan yang lalu, saat Ayah memanggil Daffa dan bundanya berkumpul di ruang keluarga untuk membicarakan hal yang sangat penting. Ayah membuka sebuah rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat. Rahasia yang menjadi ganjalan atas masa lalunya. Kenyataan pahit lain yang dihamparkan di hadapan mereka, bahwa dari kisah masa lalu Ayah, lahirlah seorang putri yang nyaris sebaya dengan Daffa. Dan, Ayah berencana untuk membawa putrinya itu tinggal bersama mereka.

Daffa yang menolak rencana Ayah mentah-mentah langsung meradang. Ia berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Mengapa Ayah setega itu menyembunyikan masalah yang demikian besar? Daffa sangat yakin, kehadiran orang asing itu di sini akan mengubah segalanya. Orang itu akan merebut semua yang Daffa miliki, termasuk cinta dan perhatian Ayah untuknya. Bundanya merengkuh Daffa erat untuk menenangkan. Daffa baru sadar, tidak hanya dirinya yang terluka. Bundanya pasti jauh lebih terluka, karena mengetahui kenyataan bahwa hati Ayah sempat terbelah untuk sosok perempuan lain. Dengan hadirnya putri dari perempuan yang pernah dicintai Ayah di sini, berarti sama saja dengan membangkitkan kenangan masa lalu Ayah. Bundanya menangis, tetapi ia tidak pernah menentang keputusan Ayah, entah di dalam hatinya.

Cinta Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang