"Choi Jisu."
Jisu menoleh ketika namanya di sebut tanpa konteks.
Gadis itu mendapati sosok Yeji mengulurkan tangannya ke bawah rintikan hujan sementara mereka berteduh di bawah atap sempit sebuah halte usang.
Jisu seharusnya bisa pulang lebih awal, jauh sebelum hujan deras mengguyur tanah, namun Yeji selalu punya ribuan cara agar mereka menetap di sekolah jauh lebih lama.
"Coba tebak," Yeji menjeda kalimatnya, sementara Jisu memberi waktu untuk gadis itu menarik kembali tangannya dan kembali melanjutkan. "Sepuluh atau dua puluh tahun lagi kau masih menjadi temanku atau tidak?"
Jisu hampir membuka mulutnya sebelum kalimat yang keluar dari mulut Yeji kembali membungkam gadis itu, "Pasti masih. Seorang Choi Jisu nggak akan pernah bisa hidup tanpa Hwang Yeji."
Yeji mengakhiri kalimatnya dengan tawa, dan Jisu sedikit banyak setuju dengan apa yang Yeji ucapkan.
Ia mungkin tidak bisa hidup tanpa seorang Hwang Yeji.
Jisu tidak dapat mengingat apa yang ia katakan pada Yeji setelahnya. Ribuan kenangan baru menumpuk habis kenangan lama dan gadis itu hanya dapat mengingat beberapa dengan samar.
Jisu sadar akan sesuatu.
Semua tentang Yeji masih membuat hatinya terasa sakit.
Jika ia punya kesempatan untuk memutar kembali waktu, Jisu tidak akan pernah menyatakan perasaannya pada Yeji. Ia bahkan tidak akan pernah mencoba menaruh hati pada gadis itu.
Karena jika Jisu tidak memiliki perasaan bodoh yang waktu itu ia miliki, mungkin hari ini, keduanya masih berteman dengan baik. Waktu tidak akan pernah memisahkan mereka dan Jisu mulai menyalahkan dirinya sendiri, lagi.
Bertahun-tahun telah berlalu dan anehnya, kenangan akan Yeji yang sebelumnya hilang perlahan kembali muncul ke permukaan.
Ryujin masih ada di sana, seperti biasa dan tidak pernah berubah, namun Jisu kembali merasakan kehampaan akan kehadiran Yeji.
Bukannya ia tidak mencintai Ryujin, bukan. Ini adalah sesuatu yang berbeda dari itu.
Yeji adalah cinta yang mengajarkan Jisu akan kehilangan, dan Ryujin adalah cinta yang mengajarkan Jisu untuk menetap.
Jisu tidak pernah menutupi segala sesuatu dari Ryujin, bahkan tentang hal ini.
Ia menceritakan bagaimana perasaannya terhadap Yeji di waktu lampau dan Ryujin mendengarkan dengan hati-hati tanpa menginterupsi gadis itu dengan kata-kata yang berpotensi menyinggungnya.
Ryujin menanggapi permintaan Jisu dengan senyuman, permintaan Jisu untuk pergi menemui Yeji dan meminta maaf, dan jika beruntung mungkin mereka dapat memperbaiki hubungan pertemanan keduanya yang telah lama kandas.
Namun Jisu tahu takdir berkata lain ketika ia terbangun dari tidurnya saat sebuah panggilan telepon dari seseorang menginterupsi waktu istirahatnya.
Shin Yuna.
Gadis itu menelpon Jisu di seperdua malam, memberi kabar bahwa Yeji baru saja pergi meninggalkan dunia yang selama ini ia tinggali.
Detik itu juga Jisu merasa dunianya runtuh.
Ia tidak punya kekuatan bahkan untuk merespon semua ucapan Yuna. Jisu membiarkan ponsel yang masih terhubung dalam panggilan itu jatuh dari telinganya. Air mata mengalir deras dari sumbernya dan Jisu berusaha menangis tanpa suara.
Ia sama sekali tidak ingin membangunkan Ryujin yang tengah tertidur di sampingnya, namun semua sia-sia karena Ryujin dapat mendengar istrinya menangis terisak.
Ryujin duduk di sampingnya, memeluk Jisu seerat yang ia bisa tanpa berusaha menghentikan tangisannya, membiarkan gadis itu mengeluarkan semua perasaan sedihnya lewat tangisan.
Ini terasa sangat sakit.
Seluruh udara dalam paru-parunya seakan terkuras habis dan Jisu mulai kesulitan dalam bernapas. Jisu mencurahkan semua perasaan sedihnya dan membiarkan piyama milik Ryujin basah dengan air mata dan Ryujin tidak masalah akan hal itu.
Yeji lagi-lagi pergi dari hidupnya dan kali ini tidak akan pernah kembali.
Hari-hari berikutnya terasa semakin berat bagi Jisu. Kabar duka yang ia dapatkan beberapa hari lalu belum sepenuhnya menghilang dan Jisu masih dapat merasakan perasaan sedih yang menghantamnya setiap kali nama Yeji terlintas di pikirannya.
Dan sialnya, Yeji terus menerus singgah di sana.
Meski begitu, Jisu masih berusaha untuk terus berhubungan denga Yuna.
Hatinya terasa semakin hancur ketika menyadari bahwa hubungan keduanya telah berakhir jauh sebelum Yeji memulai karir cemerlangnya sebagai arsitek, dan kenyataan bahwa Yeji pergi dalam kesendirian membuat Jisu semakin menyalahkan dirinya sendiri.
Entah mengapa, namun Jisu merasa seakan ia telah melewati sebuah kesempatan yang ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika berada di waktu itu.
Lewat Yuna, Jisu mendapatkan kontak keluarga Yeji, terutama adik perempuannya, Chaeryeong.
Jisu tersenyum pahit menyadari bahwa ia kembali berhubungan dengan keluarga Hwang ketika Yeji sudah tiada. Jisu lagi-lagi merasa bersalah akan hal itu.
"Kak Yeji ninggalin beberapa surat buat kak Jisu," Chaeryeong merogoh tasnya sebentar sebelum mengeluarkan tiga buah surat dari dalam sana.
Jisu menolehkan kepalanya dari nisan bertuliskan nama Yeji. Arah pandangnya kini terpaku pada tiga buah amplop dengan warna berbeda di tangan Chaeryeong.
"Amplop biru itu di tulis kak Yeji di rumah sakit," Chaeryeong melanjutkan.
Jisu berkedip beberapa kali sebelum mengambil surat-surat itu dengan tangan yang bergetar.
"Setiap hari kak Yeji selalu bilang mau ketemu kak Jisu."
Jisu menghela napas beratnya sebelum tersenyum ke arah Chaeryeong, sebisa mungkin menahan emosinya yang mungkin akan meluap menjadi sebuah tangisan tanpa henti.
Jisu hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Gadis itu takut jika ia mencoba untuk berbicara, air matanya juga akan ikut mengalir.
Jadi Jisu memilih untuk menahan semuanya.
"Kak Jisu itu... Cinta pertama kak Yeji."
Akan selalu ada hari lain untuk memulai semuanya kembali.
Namun kali ini, Jisu tahu ia tidak akan bisa memulai apapun lagi dengan Yeji.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar and Smoke ; yejisu [✓]
Fanfiction❝ They were a poem, but the universe refused to write their verse. ❞ ㅡ Jisu tidak yakin kalau ia bisa melupakan Yeji nantinya. [ completed story ✓ ] •gxg! •yejisu angst •baku