Fahril Malique Zafran

187 13 5
                                    

Sepeda motor beat milik budhe sudah kutitipkan di tempat penitipan samping penjual es buah langganan budhe. Setelah itu aku mulai menyusuri pasar lagi. Sebenarnya semua barang yang budhe minta sudah ada di tas keranjang. Aku dibuat sedikit panik karena tuspin pemberian ustadz terjatuh. Ya Allah, aku tahu, dia bukan lagi seseorang yang harus diistimewakan dalam hidupku. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa membohongi diri. Saat itu, ketika kerudungku terlepas di dalam mobil dan aku lupa membawa kotak jarum. Beliau akhirnya berhenti di depan toko hijab, membelikan sekotak jarum dan sekotak tuspin berisi 3 buah tuspin cantik. Dan karena kecerobohanku, dua diantaranya hilang.

“Ngapunten mbak titipan motornya mau tak tutup, ini sudah jam 11 siang. Mau sholat jum’at mbak”. Kata mas-mas penjaga titipan motor.

Baiklah, akhirnya aku pulang. Membelah jalan dengan keadaan hati yang gundah. Aku terus beristighfar dalam hati, meminta dikuatkan bahkan meminta agar nama “fathaan”, benar-benar hilang dari hatiku. Aku harus kembali menata hati. Harus membuat hatiku benar-benar percaya bahwa ustadz Fathaan sudah bukan lagi milikku.
Lama berkendara sembari melayangkan pikiran, akupun tiba di desa Loning. Melewati hamparan sawah nan indah sejauh mata memandang. Silir angin menyibakan padi-padi yang mulai menguning. Sela beberapa menit. Aku mulai heran dengan keadaan sekitar, apa yang sebenarnya terjadi? Aku merasa ada sebuah mobil yang membuntutiku.

“Ah, mungkin hanya firasatku saja” batinku.

Fokusku Kembali mengarah pada jalanan. Mungkin karena sekarang hari jum’at dan sudah pasti setengah dari para pemakai jalan ini juga ikut sholat jum’at berjamaah. Tentu saja sepi. Aku masih dengan khusnudhon yang sama. Tapi mobil itu kini mempercepat lajunya. Ku percepat kecepatan dan mulai panik sekarang. Sebuah batu seukuran bola kasti membuat roda motorku tergelincir dan aku terjatuh. Beberapa barang belajaanku tumpah. Dan keadaanku, ah entahlah. Kakiku bahkan tidak bisa bergerak karena tertindih motor. Tiba-tiba pandnaganku buram, kulihat seseorang menghampiri dan…….
** ** **

Lampu ruangan itu terlihat redup. Jendelanya juga sengaja dibuka. Perkakasnya dibiarkan berantakan. Sepi sunyi seperti tak ada orang didalamnya. Rumah tak bertetangga itu, terlihat menyeramkan dimalam hari begini. Sesekali tirai jendela dirumah itu juga terombang ambing oleh angin. Terlihat pula dua orang dengan gelak tawa yang memekak. Sepiring kacang tanah dan segelas kopi sudah dilahap keduanya. Satu diantaranya kini terlihat menyilirkan kopi baru di gelasnya. Sedang yang satunya lagi, sibuk menata kartu reminya. Beberapa perbincangan kedua terlihat serius tapi juga diselingin dengan gelak tawa.
Suara burung hantu, hewan-hewan kecil di dunia malam atau bahkan suara lolongan anjing. Sama sekali tidak membuat permainan remi mereka berhenti.
Namun semuanya terhenti saat deru suara mobil mendekati keduanya. Sosok lelaki bertubuh bidang, memakai kemeja kotak-kotak yang di lipat sampai siku dan celana jins berwarna hitam, keluar dari mobil. Bola matanya langsung tertuju pada rumah tua itu.

“dun... sudah kamu antarkan makananya?” tanya pengendara mobil itu sambil menutup pintu mobil.

“Beres bos. Omong-omong cah.e kok ayu banget. Coba kalau pakainya rodok seksi sedikit mesti tambah uayu koyo gitar sanyo”

“Gitar Spanyol, goblokk” hentak teman disamping sambil menyenggol bahunya.

“La, sanyo iku opo?”

“Iku merek pompa air, ben ndak usah nimba dari sumur dun. Wong kok ra pinter-pinter”

“Heh wes ganti jeneng po? Siapa yang ganti namanya?”

“Nama apa lagi yang kamu maksud dun? Dari dulu nama sanyo iku yo merek pompa air.”

“DIAM” Semua tiba tiba kembali sunyi saat laki-laki bertubuh bidang itu, berteriak “diam”.

Makmum Masbuk✔️ (Beberapa part hilang demi penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang