Ustadzah Kalemku

218 8 5
                                    

Pagi sudah masuk waktu dhuha. Setelah sholat dhuha, aku keluar mengantungkan jemuran. Baju-baju kumuh di kamar sudah kuangkut dan digiling di mesin cuci subuh tadi. Pagi ini aku harus beberes rumah sampai kinclong. Mbak-mbak santri ku minta ikut membantu, karna pak suami mengomel, lantaran kasihan melihatku harus beberes rumah sendirian. Salah siapa dia berantakan begitu.

"sudah sehat ning?" bu tinah, istri pak Ruslan menyapaku. Kalau dihitung mundur, sepertinya ada kurang lebih tiga minggu sudah, aku keluar dari rumah sakit itu. Tapi masih ada beberapa obat yang harus ku makan, dan harus cek-up setiap minggunya.

"Alkhamdulillah bu. sampun."

"Dolan mriki ning, ada banyak jajanan pasar." Beliau tentu saja tahu, jajanan kesukaanku. Paling enak sih gemblong santen buatan beliau.

"nggih kersane bu, masih sibuk. Insya Allah nanti kalau longgar nggih." Beliau tersenyum sambil menyapu halaman rumah. Kulihat pak Ruslan keluar dan membawa sangkar burung love bird kesayanganya.

"alah bapak iki loh, yang di elus-elus kok mung manuk lagi, burung lagi, sangkar burung terus. Bosen ibuk pak pak" Aku tertawa kecil mendengar itu. Keluarga pak Ruslan sebenarnya harmonis, hanya karna logat bu Tinah yang sedikit lebih tinggi dari suaminya. Jadi terkesan seperti orang bertengkar setiap harinya. Walau begitu, pak Ruslan tidak pernah membalas kata-kata ketus istrinya dengan kalimat yang lebih menyakitkan.

Dulu saat ku minta bu Tinah membantuku membuat kue krekes untuk acara khotmil qur'an, beliau pernah bilang, "ngeselke kayak gitupun ning, wonge pengertian banget kalau sama saya. Kan sayanya jadi tambah cinta" aku tertawa mendengar itu dulu. Logat bicara itu yang membuat seseorang lebih nyaman diajak cerita denganya. Bisa dibilang beliau termasuk tipikal orang yang nyambungan kalau diajak ngobrol.

Berbeda dengan kebanyakan ibu-ibu lainya, yang suka petan cari kutu rambut di depan rumah sambil ngrumpi membicarakan keburukan atau bahkan hal-hal dunia wanita lainya. Beliau malah lebih suka datang ke ndalem. Menawarkan sayuran-sayuran segar atau bahasa kerennya tukang entek, tukang sayur keliling yang biasanya mampir ke ndalem. Beliau juga aktif ikut pengajian mingguan jumat di masjid putri. Jadi beliau lebih dekat denganku dari pada tetangga-tetangga lainya.

Setelah menjemur pakaian, tiga orang mbak santri yang ku mintai bantuan untuk menyapu, mengepel dan merapikan barang-barang dirumah ternyata sudah selesai melaksanakan tugasnya.

"Sampun ustadzah." Salah seorang diantaranya mendekatiku.

"Sudah sarapan?" mereka menggeleng.

"sarapan sini yah." pintaku

"mboten dzah. Nanti makan nasi dapur saja."

"disini aja, luweh enak pokok.e, lumayan kan. Wes ayo, jangan lama-lama." Ku giring mereka masuk ke rumah. Di meja makan kusiapkan beberapa ikan goreng dan osengan mlinjo lengkap dengan sambalnya.

"nek mau teh, nuang sendiri yoh. Nek mau air dingin, di dalem kulkas ada." Mereka mengangguk. Dan ku tinggal sebentar masuk ke kamar. Deru suara motor mas Fathaan, terdengar dari luar rumah. Belum sempat melanjutnya menata hanger baju, aku memilih keluar kamar, dan melenggang menuju dapur. Suamiku pasti haus kan?.

Di dapur. Aku tersenyumlhttps://www.wattpad.com/story/206582782?utm_source=android&utm_medium=link&utm_content=story_info&wp_page=story_details_button&wp_uname=NidaMisywa&wp_originator=iqFt3AwbB2SJFmzDoi0cg7KvLBN7QvCBkBhhevVar5HadshtBucFSYHKwscDQjE6K0cLZ9UNahkG3JeLC%2FGPwdNW5e1HAdbSmjjD2k20vOGxWjQMrd4GgNIII3fAU3ve melihat tiga orang santri tadi, mereka malah memilih duduk dibawah dari pada duduk di kursi yang sudah ku sediakan. Mereka juga memilih makan di satu piring, dari pada mengambil piring lain yang juga sudah ku sediakan. Yang pernah mondok, atau sedang modok pasti tahu, makan satu piring bersama itu salah satu kenikmatan hakiki.

Makmum Masbuk✔️ (Beberapa part hilang demi penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang