Awal

28 5 1
                                    

Teruntuk para pembaca.

Selamat menikmati kisah Minerva, Galuh, dan Harmoni.

Tolong jangan menebak-nebak sifat tokoh ataupun alur cerita ini.

Karena setiap cerita punya rahasia maka biarlah rahasia itu terkuak dengan sendirinya, tanpa paksaan.

Selamat membaca.

Di bawah naungan sakura
Kita berjalan berdampingan
Tangan ini saling menyatu, bertaut
Namun kenapa kau hanya acuh nan membisu?

Entah kenapa rasanya yang begitu perih

Di bawah naungan permadani sakura
Untuk pertama kalinya kutemukan dirimu
Berdua, tersenyum
Pada dia yang sama sekali tak ingin kusebutkan namanya
Kau pancarkan binar bahagia di kedua matamu

Namun aku sang bisu
Sekali lagi hanya bisa terpaku
Sembari menatapmu dari kejauhan
Dalam lindungan tirai sakura

Oxford, Britania Raya. 16 Oktober xxxx

Sapuan angin musim gugur memainkan beberapa anak rambut seorang gadis, membuat gadis dengan syal coklat itu berdecak kesal. Menutup bukunya, ia pun meminum kopi yang sudah mendingin. Setelah memasukkan semua barangnya, ia pun berjalan meninggalkan area luar kafe yang baru saja disinggahinya.

Seperti hari-hari sebelumnya, kota Oxfrod hidup dengan para mahasiswanya yang berasal dari berbagai belahan dunia. Pemandangan aneka ras seolah menjadi santapan sehari-hari di kota pelajar yang terkenal akan universitasnya itu.

Langkah kaki gadis berambut hitam arang itu melambat saat dirinya melihat beberapa daun gugur dari pohonnya.

Cantik ....

Gadis dengan mata sekelam langit malam itu terus menatap guguran daun, hal yang amat biasa di musim gugur namun terlihat memukau di matanya. Keasyikan melamun membuatnya lupa akan keadaan sekitar. Hingga akhirnya ....

BRUAK.

Gadis itu meringis saat dirinya jatuh terduduk di tanah. Mengelus pinggangnya yang sakit, ia pun bangkit namun batal saat netranya menangkap sebuah tangan yang hendak mengambil tas bukunya. Refleks gadis itu menyaut tasnya dan menatap tajam orang itu.

Orang yang ditatap pun terkejut atas tindakannya yang tiba-tiba. Dia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. "Let me help, miss," ucapnya.

Namun gadis itu hanya menatapnya sinis. "What a rude man," sinisnya lantas pergi dari sana. Sekilas ia menatap mata pemuda itu, mata coklat serupa daun maple di musim gugur.

Indah.

Sedangkan pemuda yang harusnya menabraknya hanya bisa bengong, terkejut atas ucapan yang dilontarkan oleh gadis itu.

"Woy, Galuh," ucap seorang pemuda yang baru saja tiba sambil menekuk pelan sebelah bahu pemuda bernama Galuh. "Gue cariin juga. Ngapain sih Lo? Bengong kek orang gila aja."

Pemuda bernama Galuh itu mengerjapkan matanya. Dia lalu menatap pemuda yang baru saja tiba itu. "Al, Rude man itu artinya apa?" tanyanya tidak nyambung.

"Hah?" Pria bernama lengkap Aldenio itu menatapnya tidak paham namun sedetik kemudian dia berkata. "Oh, itu artinya pria yang kasar. Kenapa?"

Galuh mengerjapkan matanya. "Kok dia tahu gue lagi mbatin omongan kasar? Tuh cewek cenayang, ya?" gumamnya sendiri.

"Hah? Lo ngomong apaan, sih, Luh?" tanya Aldenio tidak paham.

Bukannya menjawab pertanyaan temannya, pemuda bernama Galuh itu justru melangkah pergi sambil tersenyum penuh misteri.

Cewek itu bisa tahu apa yang seseorang pikirkan hanya dalam sekali lihat? Gue gak nyangka masih ada orang yang bisa ngertiin gue tanpa gue perlu ngomong apapun. Batinnya sok menyimpulkan perkataan gadis tadi.

Sedangkan Aldenio hanya bisa kembali berlari guna mensejahterakan langkah dengan temannya itu. Entah apa yang Galuh pikirkan, ia pun enggan tahu dan memilih acuh, pura-pura tidak kenal.

***

Langkah kaki menuntun seorang gadis dengan surai sehitam arang dan netra segelap malam ke sebuah bangunan megah yang tampak cukup kuno, bangunan yang menjadi tempatnya menimba ilmu.

Sepanjang perjalanan banyak sekali pasang mata yang memperhatikannya namun ia memilih acuh. Saat kakinya baru saja menginjak ubin koridor, seseorang menjegal kakinya, spontan gadis itu terjatuh dengan kedua lutut yang lebih dulu menghantam lantai.

Tidak ada yang menolongnya, tentu saja. Mereka hanya saling melirik dan tertawa.

Gadis itu pun bangkit namun baru sebentar ia kembali berpegangan pada pilar besar di sampingnya. Gadis itu menunduk untuk melihat kakinya dan seketika ia melihat lututnya yang berdarah.

Tanpa sadar gadis itu mengepalkan sebelah tangannya. Dia benci ....

"Harmoni, are you oke?" tanya seorang gadis dengan rambut pirang dan mata sebiru langit siang yang cerah. Gadis itu melihat lutut Harmoni dan terkejut. Segera ia mengalungkan sebelah tangan Harmoni ke pundaknya. Dengan susah payah ia menuntun Harmoni menuju ruang kesehatan.

Melihat hal itu, Harmoni menjadi tidak enak hati. "Minerva, You don't need to help me, I can go alone," ucapnya dengan nada lirih yang langsung dibalas dengan tatapan tajam dari gadis kelahiran London tersebut.

"Shut up," ucapnya.

Menyerah, Harmoni membiarkan Minerva menuntunnya menuju ruang kesehatan.

Begitu tiba di ruang kesehatan, Minerva langsung mendudukkan gadis itu ke ranjang pasien dan membiarkan petugas kesehatan mengobatinya.

"Kau bisa pergi ke kelasmu, Minerva. Biar aku yang membuatkan izin untuk Harmoni," ucap petugas kesehatan.

Minerva menganggukkan kepala. Setelah berpamitan, ia pun pergi dari sana.

"Oke, little girl. Kali ini siapa yang membuat ulah denganmu?" tanya petugas kesehatan itu.

Harmoni memutar bola matanya jengah. "Tidak ada, Pretty. Aku hanya terpeleset," kilahnya.

Petugas kesehatan bernama Pretty itu bersendekap, jelas ia tidak percaya akan ucapan Harmoni. Namun pada akhirnya wanita berusaha 26 tahun itu menghela napas, tahu bahwa percuma mendesak Harmoni untuk menjelaskan hal 'sepele' ini.

"Istirahatlah, Harmoni. Aku akan membuatkanmu surat izin dan satu lagi, sekali-kali bersikaplah tegas atau aku akan melaporkan hal ini pada kakakmu," ancamnya.

"Terserah kau, Pretty," balas Harmoni kesal. Dia pun memutuskan untuk tidur.

Pretty hanya mampu mengehela napas melihat kelakuan adik dari sahabatnya tersebut. Setelah memastikan Harmoni tertidur, ia pun keluar dari ruangan tersebut.

Sayangnya Pretty keliru. Harmoni belum tertidur.

Dalam diam ia mulai berpikir cara apa yang sebaiknya ia lakukan untuk membalas kebaikan Minerva karena selama ini hanya gadis itu yang peduli padanya.

"Walau gak bisa disebut teman, sih," gimananya pelan. "Hah ... apa yang sudah kupikirkan. Menyebalkan."

Harmoni berharap waktu menuju kelulusannya berjalan cepat agar semuanya cepat berakhir.

Sinematografi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang