Minerva melangkahkan kaki lebar-lebar menuju asrama OHS. Setelah tiba di lantai ketiga, ia berjalan tergesa menyusuri lorong, tangannya sibuk menelepon seseorang sedangkan matanya menatap penuh amarah pada lorong kosong di hadapannya.
Tak butuh waktu lama, ia tiba di depan sebuah pintu berkarat. Dibukanya pintu yang tak terkunci itu. Mengabaikan debu pekat yang membuatnya terbatuk, gadis bersurai pirang pekat itu menaiki tangga usang di hadapannya. Tidak ada pencahayaan yang membantunya, menambah kesan seram di bangunan berusia 3 abad tersebut.
Namun seolah buta, Minerva terus melangkah menaiki tangga menuju lantai empat. Setelah tiba disana, ia pun berjalan cepat menuju salah satu pintu kamar yang tak terpakai. Cahaya senja yang menerobos dari balik jendela besar sedikit banyak membantunya untuk melihat suasana.
Bukannya langsung masuk, Minerva justru menjatuhkan dirinya di depan pintu. Kakinya meringkuk, kepalanya ditenggelamkan di dekapan kaki sementara kedua tangannya berada di atas kepalanya.
Pelan namun pasti suara isakan terdengar dari sosok gadis tersebut.
Minerva benci! Dia amat membenci Galuh Aldebaran! Tapi kenapa hatinya sakit saat ia bilang ia tidak menyukai pemuda itu? Kenapa hatinya sakit saat Galuh bersama Harmoni dan membanding-bandingkannya dengan gadis rapuh itu? Minerva tidak mengerti.
"Nona Minerva," sapa seseorang.
Minerva mendongak untuk melihat sosoknya yang buram akibat air mata sialan yang memenuhi mata biru langitnya
"Mr Erlangga?" tanya Minerva dengan suara parau.
Pria berusia sekitar 40 tahun berpakaian khas pelayan itu mengangguk. Tanpa perintah ia menyodorkan sebuah sapu tangan dan sebotol air mineral.
Minerva menerimanya dan langsung membersihkan wajahnya. Setelah menghabiskan botol mineral tersebut, ia pun tersenyum. "Terimakasih, Mr," ucapnya lemah.
Mr Erlangga mengangguk walau dalam hati ia merasa kesal pada siapapun yang sudah membuat nona mudanya menangis.
"Ada apa nona memanggil saya?" tanya pelayan pribadinya itu.
Minerva menghapus ingus yang sempat keluar saat ia menangis. "Bukakan pintunya," perintah gadis itu dengan nada datar sembari dirinya memakai sepasang sarung tangan.
Pelayan pribadinya itu langsung mengeluarkan sebuah kunci kusam dari saku bajunya lantas membukakan pintu kamar yang tak terpakai tersebut.
Di sudut ruangan, tergeletak dengan tangan dan kaki di ikat, tanpak seorang gadis berambut coklat dengan seragam khas OHS.
Minerva mendekati gadis tersebut. Tanpa basa-basi mengguyur kepalanya dengan air yang tersedia di nakas.
Gadis itu sontak terbangun, terkejut akan siraman air yang terasa dingin.
"Bangun," perintah Minerva dingin.
Gadis itu bangun, menatap sekeliling dengan bingung lalu membulatkan mata kala teringat kejadian yang lalu.
"Kau!" raung gadis itu. "Apa yang kau lakukan padaku, Minerva?!" serunya penuh amarah.
Minerva berjongkok guna mensejajarkan tingginya dengan gadis tersebut.
"Dengar, Larista," ucapnya dingin. "Kau mau bekerjasama denganku atau kubiarkan membusuk disini?" tawarnya datar.
Gadis itu, Larista, berdecih. "Jadi kau yang waktu itu mengirim surat dan bunga ke Harmoni?"
Minerva mengangguk.
"Juga tulisan dari cat merah di dinding gudang?" tanyanya lagi.
Minerva kembali mengangguk. "Aku tidak boleh merusak citra baik sang Dewi Seni yang Sempurna, bukan?" Sebuah senyum keji terulas di bibir Minerva.
Jantung Larista berdetak cepat. Rasa was-was mulai menghampirinya. "Apa yang kau rencanakan, Minerva?"
Minerva tersenyum anggun. "Tidak banyak. Hanya mendorong Harmoni ke dalam sumur tua di belakang gedung auditorium dan menutupinya."
Larista tidak tahu jika Minerva bisa sesadis ini. Itu sama saja dengan membunuh Harmoni dengan perlahan.
"Kau gila!" seru Larista penuh emosi. "Kau ular, Minerva! Lihat saja, aku akan membongkar rencana jahatmu!"
Senyum di wajah Minerva lenyap. Ia lalu merenggut dagu Larista, menekannya hingga gadis tersebut meringis kesakitan.
"Dengar, aku sudah berbaik hati memberimu kesempatan, Larista. Tapi kau menyia-nyiakannya. Jangan salahkan aku kejam."
Minerva melepaskan genggamannya, tangannya mengadah ke arah Mr Erlangga.
Paham, Mr Erlangga memberikan sebuah pisau pendek kepada nonanya.
Minerva memandang wajah pucat Larista dengan penuh kemenangan. Tangannya teracung, siap menancapkan pisau ke tubuh sang teman kapan saja.
"Tidak! Tidak! Minerva berhenti!" raung Larista mencoba lari namun ditahan oleh Mr Erlangga.
Minerva tersenyum angkuh. "Aku sudah bilang. Jangan salahkan aku kejam, Larista. Berbanggalah karena kau akan sedikit berguna." Tepat setelah berkata demikian, dia menusuk perut Larista dengan sebuah pisau pendek.
Mata Larista melebar, terbatuk darah lantas jatuh tak sadarkan diri dengan darah yang terus merembes keluar.
Minerva memberikan pisau itu pada Mr Erlangga lantas membakar sapu tangan yang ia pakai.
"Apakah pisau itu benar-benar pisau yang dipakai oleh Harmoni saat membantu di dapur tadi pagi?" tanya Minerva.
"Iya, Nona," jawab Mr Erlangga.
"Berapa jam lagi menuju pesta dansa?" tanya Minerva sambil berjalan keluar dari kamar berbau anyir tersebut.
"3 jam lagi, Nona."
Alis Minerva saling bertaut. Terlalu lama. Pikir gadis tersebut.
"Berikan pertolongan pertama. Setidaknya biarkan dia hidup hingga 3 jam kedepan. Lalu siapkan rencana di hutan sekolah." Tepat setelah berkata demikian, Minerva pergi begitu saja.
"Baik, Nona."
Di sisi lain, Harmoni baru saja datang dan tidak sengaja bertabrakan dengan Larissa yang kebingungan mencari saudarinya.
"Apa kau tidak bisa melihat, huh?!" maki Larissa yang emosi.
Minerva tersenyum melihat adegan tersebut. Bagus.
"Hei, Larissa. Ada apa ini?" tanya Minerva dengan raut wajah bingung.
Larissa menghela napasnya, menggeleng dengan wajah kesal lantas berlalu pergi.
"Terimakasih, Minerva. Permisi," kata Harmoni.
"Tentu," balas Minerva ceria. Silakan, karena sebentar lagi kau akan menjadi bintang pembunuhan, Harmoni. Saat itu tiba, apakah Galuh akan tetap menyukai kelicikanmu? imbuhnya dalam hati, tertawa menantikan pertunjukan nanti malam
***
Sebenarnya aku tidak benar-benar membencimu. Hanya saja, keadanlah yang memaksaku 'tuk membuatmu diam, dalam tidur panjang yang diantarkan lewat ketidakadilan
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinematografi
Ficção AdolescenteDaily update Ini tentang seorang gadis bernama Minerva Sachs. Seperti namanya, Minerva amat menyukai seni terutama fotografi. Baginya dunia itu indah, tidak peduli dilihat dari sudut pandang manapun. Pribadinya yang ramah dan sopan ditambah status s...