09

643 79 3
                                    


Di sebuah hotel yang telah disiapkan Julia untuk malam pertama putrinya, Lilyane masih memandangi Verrel, yang telah menjadi suaminya dari tempatnya duduk, di tepian ranjang dengan memeluk guling yang menutupi sebagian wajahnya. 

Verrel yang sedang berdiri di depan lemari dengan handuk yang berada sebatas pinggang ke bawah, setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi, mulai memilih milih pakaian yang akan dikenakannya. 

"Apa kau tidak ingin mandi?" 

Lilyane sedikit terkesiap dengan ucapan Verrel, dirinya yang masih mengatur napas karena melihat pemandangan yang cukup membuat wajahnya memerah. Mulai meletakkan gulingnya, lalu berdiri dengan canggung.

"Ah iya, a aku akan mandi...sekarang."

Lilyane segara melangkah ke kamar mandi, menutup pintunya dan bersandar di baliknya. Sambil memegangi dadanya yang belum bisa berhenti berdetak kencang, dia senyum-senyum sendiri. Mengingat cetakan di perut dan punggung tegap suaminya, membuatnya hanya mondar-mandir di kamar mandi. 

Bagaimana rasanya ketika tangan besar itu menyentuhnya, dan bagaimana lengan berotot itu  mengukung tubuh kecilnya di bawah tubuh besarnya. Lilyane merasa gelayar aneh di tubuhnya. Dia belum pernah merasakan bersentuhan dengan laki-laki, karena dia memang menginginkan hanya suaminya lah yang pertama kali yang akan melakukannya. 

Dengan kurangnya pengalaman bersama laki-laki membuat dirinya gelisah kembali, bagaimana kalau dia tidak bisa membahagiakan suaminya, diatas ranjang. 

Setelah berkecamuk sebentar dengan pikirannya Lilyane mulai membuka kaos longgarnya yang dia pakai sebagai ganti gaun pengantinnya tadi.  

Seandainya Joan tahu dia sedang kebingungan di kamar mandi, dia pasti ditertawakan dengan keras olehnya. Lilyane mendengus, lalu mulai membasahi tubuhnya dengan shower.


Alis Lilyane menaut ketika dia keluar kamar mandi dengan bathrobe di tubuhnya, melihat Verrel sudah berpakaian lengkap seperti hendak pergi.

"Aku minta maaf, sepertinya aku harus pergi sebentar karena ada sesuatu yang mendadak." Verrel memakai jaketnya, tanpa menoleh pada Lilyane.

"Oh, kau mau pergi kemana?"

"Menemui temanku...tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sebentar?"

Lilyane hanya mengangguk pelan sambil duduk di depan meja rias.

"Aku pergi..."

Lilyane tidak memikirkan kemana Verrel pergi, mungkin memang ada hal yang cukup penting hingga membuatnya harus pergi saat ini juga. Beberapa saat kemudian dia memandangi seluruh kamar hotel yang ditempatinya. Terasa sepi dan cukup menakutkan. Lilyane beranjak ke arah ranjang, duduk bersandar sambil memeluk bantalnya. Matanya kembali menjelajahi ruangan itu. 

Ini terlalu senyap untuknya yang biasa berada di tempat ramai, sampai dia membayangkan yang tidak-tidak. Lilyane melirik jam dinding, masih pukul sepuluh malam tapi terasa sudah tengah malam. Lampu di kamar tidak terlalu gelap, tapi tetap saja Lilyane merasa ketakutan di tempat asing ini.

Tangannya meraih ponsel yang berada di nakas, lalu melakukan panggilan dengan seseorang.

"Joan..."

"Hei, kenapa kau meneleponku, bukankah kau sedang..."

"Verrel pergi." Lilyane memotong sebelum pipinya memerah.

"Hah, maksudmu?"

"Dia keluar sebentar mau menemui temannya."

Jeda beberapa saat, karena Joan masih bingung dengan jawaban Lilyane.

"Aku...takut." lirih Lilyane.

Joan menghela napas mendengarnya.

"Aku akan menemanimu sampai suamimu kembali, oke..."

Lilyane mengangguk, meskipun tidak akan terlihat oleh Joan.

Mereka pun mulai bercerita di ponsel, tentang segala hal sampai melewati pukul dua belas malam. Sampai Lilyane merasa matanya semakin berat dan tertidur dengan ponsel yang masih berada di tangannya.

.

Verrel terburu-buru membuka pintu apartemen berwarna coklat itu, langsung masuk mencari sosok yang dicarinya.

Gadis itu berada di kamar, duduk memeluk dirinya sendiri di atas kasur.

Pelan-pelan Verrel menutup pintu kamar, lalu mendekati Jennet dan menarik kepalanya ke dalam dadanya.

"Maafkan aku..."

"Tidak perlu...aku mengerti...sangat mengerti..."

Jennet menutup matanya, menenggelamkan kepalanya mencari kehangatan.

Verrel semakin memeluk erat bahu gadisnya.

"Seharusnya kau tidak datang tadi."

"Aku hanya ingin melihatmu dalam balutan baju pengantin. Kau sangat tampan, kau tahu?"

Jennet menarik kepalanya, menatap wajah Verrel yang terlihat lelah.

"Kenapa kau tidak menemani istrimu, ini malam pertamamu..."

"Jangan bicara seperti itu..."

Jennet tersenyum, menutupi luka di hatinya. Tangannya mengelus lembut rahang tegas itu.

"Aku tidak apa-apa, aku sudah mulai terbiasa seperti ini. Jangan terlalu mengkhawatirkanku."

Verrel membalas menatap mata sembab itu, yang jejak air matanya masih terlihat samar.

"Bagaimana aku tidak khawatir, aku yang membuatmu menangis, aku yang selalu menyakitimu."

"Selama kau selalu kembali padaku, aku akan bertahan."

Dada Verrel berdenyut ngilu, melihat gadis yang dicintainya harus mengalami hal ini bersamanya. Ingin sekali dia melepasnya dan membiarkannya menemukan laki-laki yang jauh lebih baik darinya.

Tapi dia tidak bisa, Jennet sudah menjadi candu untuknya. Jennet sudah menjadi bagian dari hidupnya, napasnya, bahkan nyawanya sendiri. 

Verrel menarik dagu Jennet, mempertemukan dua bibir mereka dengan lembut. 

Bagaimana tautan kedua bibir itu menjadi sangat berarti, ciuman hangat diantara luka dan sakit yang belum juga mengering. 

Verrel membawa Jennet untuk berbaring tanpa melepas ciuman mereka. Melepas satu persatu bahan yang melekat pada tubuh yang mulai memanas. Menyatukan tubuh mereka dengan seluruh cinta dan perasaan tulus yang selalu membakar gairah dengan sangat hebatnya.

Melupakan sejenak, rasa sakit dalam hati masing-masing.

.

.

Hampir pukul satu malam ketika Verrel kembali ke hotel dan menemukan Lilyane tertidur dengan ponsel yang masih dia genggam. Verrel menarik napas, berganti pakaian tidur lalu ikut berbaring bersama istrinya, tidur dengan membelakanginya.

Kepala Lilyane bergerak pelan, matanya perlahan terbuka. Kemudian menegakkan punggungnya, memutar kepalanya dan menemukan punggung Verrel di sampingnya. Dia hanya tersenyum, dia tidak ingat dan tidak menyadari kalau Verrel tidur di sebelahnya. Mungkin karena dia terlalu lelap tidak tahu kalau Verrel sudah pulang. Ah syukurlah, suaminya itu masih ingat pulang.

Lilyane mengangkat bokongnya untuk bangun dari kasur, tapi sebelum dia benar-benar berdiri, Verrel berbalik merubah posisinya menjadi terlentang, tapi masih dalam keadaan tidur. 

Membuat Lilyane dapat melihat pahatan sempurna dari wajah suaminya. Gadis itu mengatur napasnya, menarik kembali sudut bibirnya dengan sempurna.

Saat itu, Lilyane yakin bahwa dia,

Memang mencintai laki-laki yang masih terbaring tidur itu.

***



yuhuu, kok sepi ya ;p


BLACK ROSES (BTS DAN BLACKPINK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang