0.2 Legitimate

1.1K 148 54
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Siap, Al?"

Abqari Delardo, pemuda yang kini berbalut tuxedo hitam mendongak ke arah Bunda setelah selesai mengancingkan kancing terakhir.

"Siap gak siap bukannya bakal tetep lanjut?" balasnya pasrah.

Kesal bukan main, Al sangat ingin menangkis, hanya saja setiap kata yang Bunda dan Ayahnya lontarkan lagi-lagi selalu membuat Al tidak bisa membantah. Kalau Al adalah orang yang tidak mengenal kebencian mau pun keadaban, sudah dengki dirinya terhadap orang tua setelah merencanakan sesuatu yang begitu menjengkelkan.

"Emang, tapi cuma pengen tau aja kamu siap atau belum." Tangan Bunda mendarat di kedua bahu Al, merapihkan tuxedonya walau tidak ada sedikit pun kekusutan.

"Ini kesepakatan yang harus kita dan keluarga calon kamu laksanain," tambah Bunda, memberikan sepotong pengertian supaya Al mengerti.

"Harus banget sekarang? Abis lulus kan bisa."

"Iya, bisa. Tapi perjanjiannya harus sekarang."

"Bun—"

"Yuk, udah pada siap nih." Di ambang pintu kamar Al, Ayah muncul dengan jas hitam yang terpakai rapih di tubuh tegap meski umur hampir menginjak setengah abad.

"Persiapin diri kamu, mulai hari ini kamu gak akan menghidupi diri kamu sendiri, tapi ada seseorang yang harus kamu jamin hidupnya." Perkataan terakhir Bunda sebelum pergi lebih dulu terus terngiang di kepala Al.

Menghidupi, ya? Sungguh, ia saja jajan masih meminta kepada orang tua, apa-apa masih dibiayai orang tua, kebutuhan masih difalisitasi oleh uang kedua orang tuanya. Bagaimana ia bisa melakukan apa yang orang tuanya katakan?

Al menarik napas, memejam sejenak guna merefreshkan pikiran yang terlampau berat. Dirinya masih pelajar, terlebih sudah menginjak kelas 12, bebannya kian bertambah.

Seusai mulai ringan, Al berhembus pelan. Ia sama sekali tidak deg-degan perihal ketakutan jika salah dalam berucap ijab kabul nanti, hanya saja ia takut pada kehidupannya setelah menikah.

***

"

Ma, please lah, Rila gak mau. Aku robek nih bajunya yah?" Kedua tangan Rila sudah memegang gaun putih yang menyembunyikan tubuh kecilnya, mengancam Mama yang nyatanya sama sekali tidak merasa terancam.

"Halah robek aja kalo berani, paling entar kamu dimarahin Papa, diusir deh dari rumah."

"Ma..." Rila merengek manja, bertingkah kekanakan supaya sang Mama membatalkan acara pernikahan yang nyatanya sebentar lagi akan dimulai.

"Jangan nangis, malu sama make up. Muka udah cantik kok nangis sih." Mama dengan sigap menyapu air mata Rila yang nyaris meluruh jika saja tidak cepat disingkirkan oleh tissu.

Felicity [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang