SETELAH menempuh perjalanan sekitar 3 jam lamanya, akhirnya Patra dan yang lainnya tiba juga di tempat tujuan.
Desa yang dipilih cukup tinggi dari daratan biasa, terbukti dari jalanan yang mereka lewati memuat banyak aspal bertanjak. Air disanapun sangat dingin, khas mata air dari pegunungan. Cleo sampai berjengit saat berehat di sebuah mushola dan mencuci tangannya.
Memarkirkan motor didepan sebuah bangunan cukup besar tanpa dinding yang biasanya digunakan masyarakat sekitar untuk melakukan diskusi desa. Tapi bukan disitu mereka akan menginap.
"Rumahnya yang mana Lang?" Age yang baru saja melepas helm turun dari motornya melayangkan pertanyaan.
"Yang itu!" tunjuk Langit pada sebuah rumah yang posisinya lebih tinggi dari tanah yang mereka pijak. Cowok itu berjalan begitu saja diikuti keenam temannya.
Mereka memijaki tangga dari tanah berkisar enam anak tangga untuk bisa membawa diri keatas.
"Assalamualaikum..." Langit mengucapkan salam lalu mengetuk pintu rumah sederhana bercat hijau pudar itu. Tak berapa lama pintu terbuka menampilkan seorang perempuan 35 tahunan.
"Waalaikumsalam... Eh, ini teh yang mau nginep ya?" ujar ibu itu.
"Iya Bu." balas Langit tersenyum.
"Masuk-masuk A', Eneng nya juga. Silahkan." ibu itu mempersilahkan.
Saat didalam, netra Cleo refleks mengitari kesekeliling memperhatikan. Dari tempatnya berdiri, disamping kiri terdapat bufet setinggi 2 meter. Dan di ruangan depan kamar mandi ada sebuah televisi berukuran 21 inch yang didepannya sebuah tikar digelar, terlihat di dinding-dindingnya tersampir jaket kulit tebal yang sepertinya milik tuan rumah, juga barang-barang yang diletakkan cukup berantakan. Rumah itu sebenarnya cukup luas, hanya saja pengaturan posisi kamar yang mengapit membuatnya terlihat sempit. Satu lagi, sejauh yang Cleo lihat, tidak ada sofa maupun kursi disana.
"Kalau begitu ibu tinggal ya. Nanti kalo ada apa-apa, bisa datang ke ibu di rumah sebelah. Mari," saking sibuk dengan dunianya sendiri, tahu-tahu Cleo mendapati ibu itu berpamitan.
"Karena kamar cuma satu yang ada, jadi itu dipake Cleo sama Mimin. Buat cowok dibagi dua. Tiga orang disini, sisanya di ruang TV." atur Langit menginterupsi yang diangguki semuanya. "Lu pada mau mandi gak?" semuanya mengangkat tangan. "Cewek-cewek duluan aja. Cowok belakangan." mendengar itu Cleo dan Jasmine menarik senyum dan langsung masuk ke kamar lalu mandi bergantian. Para cowok pun meletakkan tas disudut dinding dan berbaring melepas penat setelah mengendarai motor perjalanan jauh.
Malam ini tidak ada yang rencana apapun. Kegiatan sesungguhnya akan dilaksanakan esok hari. Hari ini cukup bersantai menikmati secangkir teh dan kopi sambil melihat langit malam di desa itu. Udaranya sangat berbeda dengan Jakarta. Makin malam, maka badan akan terasa dingin menusuk. Untungnya ibu itu sudah menyediakan banyak selimut yang digunakan mereka sebagai tameng dari dinginnya malam.
"Oiya, Bu Enih bilang tadi jangan kaget kalo malam ini--"
Kling!
Gelap.
"mati lampu."
"Aaaaa!" pekikkan nyaring Cleo dan Jasmine memenuhi seantero rumah.
Modal Flashlight handphone kedua gadis itu keluar dari kamar dengan wajah tertekuk.
"Gue gak mau tidur di kamar kalo gelap gini."
"Gue juga. Gila aja. Mana ada kaca lagi. Kalo tiba-tiba ada yang nongol gimana?" sambung Jasmine menyetujui tolakan Cleo.
"Ya udah. Lo berdua tidur disini bareng Patra sama Attha. Biar gue sama Age, Faisal."
Karena listrik mati, para cowok yang biasanya suka begadang main game pun memilih menutup mata agar cepat terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save It Before You Need It (End)
Romance[18+] Young Adult Bukan hal baru bagi kakak dan teman-teman Cleo bila gadis itu sangat mencintai Daffa. Istilah pendeknya itu 'bucin'. Selain bucin, Cleo juga sangat protektif pada Daffa jika kekasihnya itu akan terlibat dalam masalah dari Genk Pamu...